Selasa, 11 Oktober 2011

Tertusuk Panah Asmara (Chapter 11)

pic.by : Johansen Halim
Tidak hanya sekedar gandengan, mami tidak biasanya tersenyum semanja itu dengan pria lain. Pria blasteran itu juga tampak sumringah mengajak mami masuk dengan menenteng kotakan yang sudah dibawa mami. Oddie dan Mimi melongo bin penasaran bukan kepalang. Benarkah pria blasteran yang mukanya ngga beda jauh sama Mel Gibson itu papi baru mereka.

“Waduh, bakal punya adik pirang nih,” celetuk Mimi setelah tidak lagi melihat pria blasteran dan maminya itu.

“Hus, sembarangan ngomong lu Mi,” tegur Oddie.

“Emang Kak Oddie ga mau punya papi baru? Kan asik, tiap hari ngomongnya Inggris melulu. Lumayan, bisa benerin grammarnya Kak Oddie,” sindir Mimi sambil cekikikan.

“Eeeehhh, malah ngeledekin. Jalan kaki ato marathon nih?” ancam Oddie yang sudah mulai menunggangi motornya itu.

“Iya ya ya ya ya... Becanda kok kakakku yang ganteng,” rayu Mimi sambil ngegelitikin pinggang Oddie.

Setelah melihat adegan maminya itu, dalam pikiran Oddie berkecamuk. Papi baru? Mungkin itu seperti kejutan di siang bolong buat Oddie. Akan ada sesosok pria asing yang hadir di rumahnya, dan tidak main-main, posisi orang baru itu akan duduk sebagai kepala keluarga mereka.

Selama perjalanan, Oddie hanya diam dan fokus mengemudi. Berbeda dengan Mimi yang mulai nyanyi-nyanyi lagu Barat. Tampaknya itu pemanasan artikulasi dan aksentuasi biar bisa fasih ngomong dengan calon papi barunya itu. Lagi-lagi Mimi berhasil memecah lamunan Oddie dengan lagu The Pretenders berjudul I’ll Stand By You.

“Ooooohhh, why you look so sad?” tanya Mimi sambil melantunkan bagian awal lagu soundtrack serial Dawson’s Creek itu di telinga Oddie.

Nyanyian itu sedikit membuat Oddie tersenyum, tetapi senyum itu tidak dilanjutkan dengan jawaban yang diharapkan Mimi. Mimi jadi kembali ke bakat asalnya sebagai mantan pesinden di sekolahnya.

“Ono opo toh kang maaaaas....?” tanya Mimi dengan style Sundari Sukotjo, Pesinden Legendaris Indonesia.

“Hahaha.. Udah ganti genre Mi? Ngga apa-apa, kak Oddie masih shock aja Mi,” jawab Oddie sambil berjuang untuk menoleh ke arah Mimi.

“Kak Oddie ngga seneng ya kalau kita punya Papi baru?” tanya Mimi dengan nada sedikit pesimis.
Hanya beberapa detik Mimi bertanya, Oddie buru-buru menglarifikasi pemikiran adiknya.

“Ohh, ngga kok, ngga masalah buat kak Oddie selama Mami cinta. Namanya juga lagi tertusuk panah asmara. Lagian terlalu cepet sih kalo kita nyimpulin itu calon Papi kita, bisa aja kan itu sahabat pena mami,” ujar Oddie.

Bagi Oddie kebahagiaan keluarganya adalah kebahagiaan baginya pula. Kalau memang punya papi baru berarti memang sudah saatnya keluarga Oddie menjadi utuh kembali. Asalkan mami cinta, Oddie akan berjanji menjadi anak yang patuh dan berbakti pada papi barunya. Kalau Mimi? Tidak perlu ditanya. Mau itu pedagang petasan Lebaran atau penjual bakso kepala sapi, selama itu bule Mimi akan menerimanya.

***

Pemandangan sore di rumah Oddie jadi semakin bersih. Barang-barang yang biasanya berserakan sudah berada di posisi yang sebenarnya. Siapa lagi kalau bukan pekerjaan Mimi. Mimi berencana untuk meminta maminya mengundang calon papi barunya itu. Boro-boro, niat itu dihambat dulu oleh Oddie waktu Mimi mengutarakan niatnya.

“Jangan Miii! Biarin aja Mami yang bawa ke sini sendiri. Kalau memang pria bule itu serius kan nanti bakal di bawa ke...” belum selesai Oddie ngomong, tiba-tiba terdengar orang memberi salam dengan bahasa Indonesia yang dipaksakan.

“She-law-mouth-shore-ray...” terdengar suara lantang dari pintu masuk.

Oddie benar-benar tersentak dengan salam itu. Dia dan Mimi sama sekali tidak menduga kalau waktunya tiba lebih cepat dari perkiraan mereka. Apakah saat ini juga bule itu melamar mami? Siap atau tidak memiliki papi baru? Yang jelas bule itu sudah menginjakkan kakinya di rumah ini dan mungkin pijakan pertamanya ini akan menetukan segalanya. First impression memegang kunci untuk menjalin hubungan lebih dekat.

Oddie dan Mimi saat itu masih berada di ruang makan keluarga. Mereka jadi bingung sendiri, antara Mimi yang ingin menyambut papinya dengan bahasa Inggris dan Oddie yang masih bergulat dengan pemikirannya itu.

“Oddie, Mimi, ke sini bentar nak, ada tamu,” teriak mami dari ruang tamu sambil melepas sepatu hak tingginya dan meletakkannya di samping pintu masuk.

Hanya berselang sekitar 7 detik, Mimi muncul di ruang tamu. Sesuai dengan harapannya, bule yang duduk di ruang tamu bersama maminya itu adalah bule yang dilihatnya tadi siang bersama Oddie. Bak sales alat memasak, mami mulai memperkenalkan Mimi di depan pria bule itu.

“Rob, she’s my daughter. Her name is Mirah. We use to call her with Mimi. And Mimi, He is Robert, my best friend,” terang Mami.

Mimi mesem-mesem sambil bersalaman dengan Robert. Tampak sekali raut muka Mimi yang pengen banget bales pakai bahasa Inggris, tapi apa daya Mimi cuma bisa membalas dengan lirik lagu Lionel Richie.

“Helloooo, is it me you’re looking for?” balas Mimi dengan polos.

Mendengar balasan itu, Robert dan mami tertawa lepas. Jawaban yang kurang tepat itu tak pelak mengundang rasa gemas Robert dengan Mimi. Tidak tega melihat Mimi salah tingkah, Robert yang sudah lama tinggal di Indonesia itu mengeluarkan keahlian bilingualnya.

“That’s my favourite song. Hahahaha... Tidak usah pakai bahasa Inggris Mimi. Saya bisa berbahasa Indonesia,” canda Robert sambil merangkul  bahu Mimi.

Rasa malu Mimi hilang seketika karena Robert sangat supel dan cepat mengakrabkan diri. Terlebih lagi pelukan itu membuat Mimi jadi makin suka dengan Robert. Kesan pertama yang ditunjukkan Robert pada Mimi begitu membekas. Mengesankan dan baik. Terlalu asyik bercanda, mami lupa kalau Oddie belum muncul dari peredaran. Kontan Mimi yang menjadi sasaran empuk untuk diinterogasi.

“Kakak kamu mana? Pasti ke rumah Bokir atau Gori ya?” tanya mami pada Mimi.

“Ada di kamar tuh. Bentar ya Mimi panggilin,” ujar Mimi yang meninggalkan mami dan Robert berdua di ruang tamu.

Sembari menunggu Mimi memanggil Oddie, mami dan Robert duduk bersama sambil melihat hasil jepretan gambar mereka di handphone Robert. Sebelum pulang ke rumah, mami dan Robert pergi bersama ke salah satu pusat perbelanjaan. Melihat foto-foto di handphone itu, mami cekikian mirip kuntilanak dapat mangsa. Sedangkan Robert tertawa bak jin lepas dari botol. Saking terlalu asyiknya bercengkerama, Oddie dan Mimi yang akan keluar menuju ruang tamu menahan langkahnya dan memilih untuk mengintai di balik rak.

Melihat aksi mereka berdua, Oddie dan Mimi jadi tidak berniat untuk keluar dan enggan mengganggu kemesraan mereka. Di benak Oddie, tidak pernah maminya tertawa selepas itu dengan seorang pria. Meskipun banyak pria yang pernah mengejar maminya, tapi hanya pada Robert senyum itu dipersembahkannya dengan ekspresi tulus.

Setelah melihat situasi yang pas, baru Oddie dan Mimi berani untuk keluar. Melihat Oddie dan Mimi muncul, maminya dan Robert jadi salah tingkah.

“Nah, Oddie, ini temen baik mami, namanya Mr.Robert. Robert, dia anak aku yang pertama, Mimi’s brother, namanya Oddie,” jelas mami memperkenalkan satu dengan lainnya.

Oddie melemparkan senyumnya yang termanis dan mulai mengakrabkan diri dengan Robert. Merasa pede karena sudah dapat info dari Mimi sebelumnya kalau Robert bisa berbahasa Indonesia, Oddie mulai meracau.

“Senang bertemu Mr.Robert. Sering-sering main ke sini. Tapi jangan lupa fruite hand-nya,” celetuk Oddie.

Mendengar celetukan itu, mami Oddie yang dari cekikikan ala kuntilanak berevolusi menjadi Suzana yang melotot ke arah Oddie. Robert tertawa dan merangkul bahu Oddie dengan penuh keakraban. Mereka berempat tertawa bersama. Di tengah-tengah tawa itu, Oddie berujar dalam hati bahwa dirinya sangat nyaman berada di sisi Mr.Robert. Seperti ada chemistry yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

“God, pria bule ini baik banget. Ngga salah kalau mami jatuh cinta,” ujar Oddie dalam hati.

“Terima Kasih Tuhan, anak-anak bisa menerima Robert dengan baik,” ujar Mami dalam hati.

“Keluarga ini asyik sekali,” ujar Mr.Robert dalam hati.

“Moga-moga dari Mr.Robert jodoh gue bisa bule, sapa tau masih famili ama Robert Pattinson....” ujar Mimi dalam hati.

***

Tidak pernah terbayangkan suasana rumah keluarga Oddie sejak kedatangan Mr.Robert jadi semakin ramai. Oddie dan Mimi juga makin kerasan di rumah waktu Mr.Robert berkunjung ke rumah. Tidak jarang mereka keluar bersama mulai dari taman bermain sampai taman safari. Semua dijelajahi oleh Keluarga Oddie dan Mr.Robert. Seperti biasa, setiap pergi ke suatu tempat, selalu ada dokumentasi mami dan Mr.Robert dengan pose-pose mesranya.

Sampai tiba suatu malam ketika keluarga Oddie dan Mr.Robert sehabis pulang dari salah satu pusat perbelanjaan. Oddie, Mimi dan maminya berkumpul di ruang keluarga sejenak sebelum akan beranjak tidur di kamar masing-masing. Menonton televisi bersama sudah menjadi kebiasaan keluarga Oddie untuk mengakrabkan mereka. Dari situ mereka bisa mengomentari para peserta ajang pencarian bakat sampai pemain sinetron yang dibayar ratusan juta rupiah per episodenya.

“Mi..Mi...Jujur ya mi, Mimi bahagia banget kalau ada Mr.Robert, kak Oddie juga ngerasain gitu kan?” ajak Mimi agar Oddie setuju dengan pendapatnya.

“Iya mi, mendadak nilai bahasa Inggris Oddie jadi tertinggi satu kelas, berasa dapet guru native gratis dadakan,” tutur Oddie.

“Yaa...Mami seneng kalau kalian suka sama Mr.Robert,” kata mami Oddie sambil mengelus rambut Mimi diikuti senyuman.

Spontan, Mimi terperanjat seolah-olah aksi kuda lumping dimulai. Tiba-tiba Mimi mengutarakan keinginannya yang sudah terpendam sejak pengintaian di PT Agung Jaya.

“Gimana ya kalau Mr.Robert jadi papinya Mimi? Hmmm....” celetuk Mimi tanpa menatap muka Oddie dan maminya.

“Oooppss...” celetuk Oddie ikut keceplosan.

Mami terkejut dan tidak berani menjawab apa-apa tentang Mr.Robert. Justru mami mengalihkan perhatian dengan menyuruh Oddie dan Mimi tidur.  

“Eh, udah yuk tidur. Besok pagi-pagi mami harus bikinin pesenan buat...” belum usai mami berbicara kedua anaknya menjawab serentak.

“Mr.Robert di PT Agung Jaya kan?” sorak Oddie dan Mimi diikuti dengan lari dan tawa kecil ke kamar mereka masing-masing.

Kontan mami Oddie kaget kenapa kedua anaknya bisa tahu kalau Mr.Robert bekerja di PT Agung Jaya karena maminya masih belum pernah cerita tentang pekerjaan Mr.Robert.

“Mimi, Oddie, kalian pernah buntutin mami ya???? Ayo ngaku!!” teriak mami dari ruang keuarga.

***

Nyanyian burung perkut di pagi hari bagaikan ringtone alarm yang syahdu. Pagi itu mami Oddie membuat kue lagi untuk PT Agung Jaya. Seperti biasa, kecupan Oddie mendarat di pipi kiri maminya yang sedang sibuk mengaduk adonan.

“Udah seger Pak Detektif? Siap buntutin siapa lagi hari ini?” sindir mami Oddie sambil melemparkan senyum manis.

“Hehehe... Abisnya penasaran banget kapan hari mami dandan cakep banget. Sesuatu yang ga biasa kan kudu diselidikin,” jawab Oddie membela diri.

Setelah mendengar jawaban Oddie, mami menghentikan sejenak pekerjaannya. Duduk bersama Oddie dan menuangkan segelas teh hangat di meja makan. Melihat seduhan teh yang wangi itu, Oddie langsung meneguknya perlahan-lahan.

“Lucu ya, selama kita bareng Mr.Robert, saking asyiknya bercanda, mami bisa lupa jelasin ke kalian kalau itu boss yang mami maksud. Tentunya kamu udah dengar dari Mimi kan?” ujar mami mengawali pembicaraan.
Seperti tidak membutuhkan jawaban dari Oddie, mami akhirnya memberanikan diri untuk bercerita apa yang menjadi kegelisahan hatinya.

“Mami masih takut kalau kalian masih belum bisa menerima kehadiran papi yang baru. Tapi, melihat situasi yang berjalan beberapa hari ini mami sedikit yakin kalau kalian bisa terima Mr.Robert,” ujar mami.

Oddie yang mendengar pengakuan mami tersenyum lebar, selebar-lebarnya.

“Mi, kebahagiaan Oddie itu waktu melihat mami tersenyum bahagia. Dan senyuman itu selalu muncul waktu Oddie, Mami, Mimi, dan Mr.Robert berkumpul,” kata Oddie sambil memegang kedua tangan maminya di atas meja makan.

Ucapan Oddie menggetarkan hati mami. Rasa haru dan bangga muncul di hati mami. Hanya kurang beberapa mili dari bola mata, air mata mami hampir saja keluar. Tidak banyak mengucapkan kata dan hanya sesaat menatap anak sulungnya itu, mami kembali melanjutkan pekerjaannya.

***

Tidak seperti hari-hari belakangan biasanya, pagi itu Oddie terperanjat dari kasur dan hampir terlambat ke sekolah. Sembari kebingungan dan membersihkan tubuh ala kadarnya, pikiran Oddie melayang ke rutinitasnya belakangan tentang alarm dahsyat milik mami.

“Tumben gue ngga denger mixer mami, pasti Mimi udah berangkat dulu naik angkot,” gumam Oddie sambil menggosok giginya di wastafel depan kamarnya.

Hanya berselang beberapa menit dari waktu menyikat gigi, Oddie langsung menuju ruang makan untuk menyempatkan diri sarapan ala kadarnya. Maminya justru sedang sibuk memasak semur jengkol kesukaan Oddie.

“Ada hajatan ntar mi kok masaka semur jengkol? Tumben ngga bikin kue buat Mr.Robert? Mimi udah berangkat duluan ya mi?” tanya Oddie sambil menyambar roti bakar dan teh hangat di atas meja.

“Udah nih wawancaranya? Mimi udah berangkat, tadi bareng ama Vira naik mobil. Udah cepet kamu berangkat Od,keburu telat nanti,” perintah mami.

Tanpa sadar pertanyaan inti Oddie justru tidak terjawab. Tetapi, setidaknya Oddie bisa membaca bahasa tubuh maminya yang menunjukkan kegalauan hatinya. Hingga jawaban itu Oddie temukan waktu pulang dari sekolah. Mimi yang pada saat itu juga bersama Oddie ingin mencari makanan yang biasa ditinggalkan oleh maminya. Apa daya, di meja makan nihil, hanya ada meja polos bermotif bunga-bunga besert taplaknya.

“Bukannya tadi mami masak semur jengkol ya? Kok kagak ada??” heran Oddie yang diikuti oleh Mimi.

Tidak lama mami pulang dengan dandanan yang sangat cantik. Dari raut wajahnya tampak kesedihan dan gembira berpadu menjadi satu. Kalau saja muka manusia bagaikan koin yang memiliki sisi depan belakang, mungkin wajah mami di depan tampak sedih, namun ada ekspresi gembira yang tidak dapat disembunyikan.

“Semur jengkolnya mami kasih semua ke Mr.Robert. Ini buah tangan dari Mr.Robert buat kalian,” ujar mami sambil memberikan dua buah BlackBerry untuk Oddie dan Mimi.

Oddie dan Mimi girang bukan kepalang. Tapi kegirangan itu berhenti seketika ketika mami membawa kabar kurang menggembirakan.

“Mami baru anterin Mr.Robert ke airport. Dia harus segera balik ke Inggris karena perusahaannya yang dulu kolaps dan membutuhkan tenaganya lagi, setidaknya dari alat komunikasi ini kita bisa kontak sama Mr.Robert kalau kita mau,” jelas mami dengan intonasi yang semakin menurun.

Oddie dan Mimi bingung, senang lantaran mendapat BlackBerry, tetapi sedih karena seperti kehilangan sesosok ayah dalam kehidupan mereka. Mereka berpikir bahwa tidak akan bertemu kembali dengan Mr.Robert. Mimi sempat meracau karena tidak bisa ikut mengantar Mr.Robert. Bagaikan koor yang bersahutan, Oddie juga ikutan menyalahkan maminya. Di tengah-tengah omelan mereka mami menyela dengan kabar mengejutkan.

“Meskpiun Mr.Robert jauh, tetapi dia selalu ada di hati kita dan akan kembali untuk kita,” ujar mami sambil menunjukkan kalung komitmen antara mereka berdua dengan senyuman terlebarnya. Kontan Oddie dan Mimi memeluk maminya dengan erat seolah-olah itu adalah simbol lamaran Mr.Robert kepada mami.

Tanpa sepengetahuan anak-anak, sebelumnya Mr.Robert meminta  agar mami Oddie sendiri yang mengantarkan ke airport. Mr.Robert ingin memberikan sesuatu yang akan menjadi titik perubahan kehidupan keluarga Oddie. Mr.Robert berjanji akan segera menikahi mami Oddie saat waktunya tiba nanti. Ketika urusan selesai, Mr.Robert tidak akan ragu untuk menggelar pernikahan di Indonesia. Untuk menjaga kesetiaan dan melepas rindu, Mr.Robert dan mami Oddie mengikat hubungannya dengan kalung komitmen itu.

Kesetiaan cinta mereka diuji dengan jarak dan waktu yang terlampau jauh. Tetapi, dukungan Oddie dan Mimi selalu menguatkan keduanya.

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar