Selasa, 18 Oktober 2011

Bosan Jadi Raja (Chapter 13)

Beruntung kalau manusia hidup dalam kelimpahan. Tampaknya Gori bisa mengaplikasikan lirik lagu /rif di bawah ini :
Andai 'ku jadi radja, mau apa tinggal minta
Tunjuk sini tunjuk sana dengan sedikit kata
Andai 'ku jadi radja, punya uang, punya harta
Dan yang pasti aku juga akan punya kuasa

Andai aku jadi radja, 'ku diangkat dielukan
Dikelilingi bawahan dan orang-orang suruhan
Nikmatnya jadi radja, dengan menjentikkan jari
Dan lambaian tangan maka terpuaskan nafsuku

Tapi 'ku bukan radja, 'ku hanya orang biasa
Yang selalu dijadikan alas kaki para sang radja
Aku hanya bisa menahan dan melihat, membayangkan
Dan memimpikan 'tuk menjadi seorang radja

Nikmatnya jadi radja, 'kan kubangun istana
Dan 'ku dikelilingi putri yang 'kan s'lalu menggoda

 
pic. by : Johansen Halim

Kalau /rif cuma bisa berandai-andai untuk bisa menjadi Radja, tidak dengan Gori yang bisa beneran menjadi seorang Radja. Setiap hari makan tidak pernah menemui nasi kucing apalagi nasi aking. Semua fasilitas yang dinikmati Gori sudah terlalu mewah untuk ukuran orang Indonesia. Kolam renang, gym pribadi, lapangan basket dan futsal, ruang ping-pong, ruang dance, halaman taman yang luas dengan seperangkat bunga-bunga cantik, semua dimiliki Gori. Itupun masih belum termasuk garasi yang bisa dimasuki 20 mobil.

Di tengah sendunya sore yang menebarkan berbagai jenis bentuk awan, Gori menatap hamparan kekayaannya dari jendela kamarnya. Matanya kosong seperti adegan Tao Ming Tse yang sedang dimarahin ibunya, Tao Ming Feng. Sayup-sayup di benak Gori masih terekam jelas kedua orang tuanya yang mengajaknya berdiskusi di ruang keluarga.

“Gor, kekayaan yang papa punya ini bukan segalanya. Buat papa kamu segalanya. Itu sebabnya papa ngga mau kamu hidup susah nantinya, jadi papa mohon lanjutkan apa yang papa miliki sekarang biar kamu dan anak-cucu-cicitmu yang menikmatinya,” pinta papa Gori.

Sejenak Gori mengamini permintaan papanya. Tapi kalau sampai harus meninggalkan tanah air untuk beberapa waktu yang cukup lama tampaknya berat buat Gori.

Alasan Gori menitikkan air mata pada tanggal 10 Oktober kemarin memang dikarenakan permintaan papanya agar Gori melanjutkan studinya di luar negeri setelah lulus nanti, bila perlu sampai program pasca sarjana.

Ketaatan Gori pada orang tuanya yang membuat posisinya seperti berhadapan dengan buah simalakama. Dilema melanda sukma. Keinginan orang tua dan menjaga persahabatan, dua hal yang teramat berarti bagi Gori.

***

“Lho?? Lu mau ke London abis lulus ini??” tanya Ruben dengan nada tinggi.

“Bukannya lu bilang ga akan ke mana-mana Gor?” timpal Oddie sambil mengharapkan jawaban positif dari Gori.

“Papa gue mau gue dapat pendidikan terbaik untuk mengelola usahanya. Toh, ini juga untuk kebaikan gue,” jelas Gori.

Kekhusyukan topik itu rusak lantaran muncul pertanyaan Bokir. Sambil menikmati keripik kentang Mas Ucup depan gang rumahnya, Bokir bertanya dengan polosnya.

“Gor, enak ga sih jadi orang kaya? Kata orang enak tapi lu kok jadi ada siksaan batin gitu?” tanya Bokir.
Gori menatap mata Bokir seolah-olah ingin membuktikan kejujuran dari setiap kata yang meluncur dari bibir dan lidahnya.

“Kir, gue mampu beli apapun. Mulai dari rumah lu sampe rumah cucunya tetangga lu dengan uang bulanan gue. Tapi yang perlu kalian catet, limpahan uang gue ngga akan bisa ngebeli persahabatan kita, gue ngga mau pisah dengan kalian selama bertahun-tahun,” ujar Gori.

Merasa tersinggung, Bokir melempar sekeping keripik itu tepat di jidat Gori. Belum sempat Bokir, Oddie, Septian, dan Ruben membalas omongan Gori, tiba-tiba BlackBerry Gori bergetar dengan kekuatan 6,8 SR. Dia menjawab panggilan di BlackBerry tipe Dakota yang dibelinya dengan mengumpulkan uang jajan selama 2 hari itu.

“Iya, Iya pa, Gori mau jalan pulang, tunggu bentar ya pa,” sahut Gori di telepon yang tampak kalau dia sedang bicara dengan papanya.
Setelah menutup pembicaraan dengan papanya, Gori buru-buru mengemasi barang-barangnya yang tergeletak di tepi lapangan basket.

“Buru-buru banget lu, disuruh apaan ama bokap?” tanya Septian penasaran.

“Bokap udah manggil guru native private ke rumah gue. Itung-itung kayak sekolah bahasa, jadi begitu lulus gue ngga kagok lagi ngomong bahasa asing. Sekarang gurunya udah nunggu di rumah gue. Oke, balik dulu ya guys,” pamit Gori dengan melambaikan tangan dan melemparkan senyum manis pada emapat sohibnya.

Dengan berlari kecil, Gori menuju mobilnya yang diparkir di depan gerbang sekolah. Oddie, Ruben, Bokir, dan Septian cuma bisa melihat kawannya itu bergegas menuruti perintah orang tuanya. Sebenarnya tampak wajah sedih yang disembunyikan oleh Gori tetapi tidak disinggung oleh sohibnya.

“Od, lu ga ada ide lagi?” tanya Bokir sambil menatapi kepergian Gori.

“Gue sama sekali ga berhak ikut campur kalo udah urusan beginian. Kita doain Gori aja biar dia bisa dapet  yang terbaik,” ujar Oddie bijak.

“Amiiiinnnn.....” sahut Bokir, Ruben, dan Septian dengan serentak.

***

Sambil menemani si Mami membuat adonan kue, Oddie di ruang keluarga barengan Mimi nonton tayangan infotainment favorit mami. Sesekali Mimi mencuri lihat apakah maminya masih menonton atau sedang berkonsentrasi membuat kue. Kalau-kalau maminya lengah sedikit, Mimi langsung memindahkan channelnya ke serial Korea favoritnya. Maklum, beberapa hari ini Mimi ketagihan banget nonton serial Korea yang dimainkan pria-pria berkulit tahu itu.

Oddie cuma ikut-ikutan meramaikan ruang tamu sambil mengutak-atik BlackBerry barunya. Matanya tertahan ketika membaca status Gori yang bertuliskan : Bosan Jadi Raja. Bagaikan gayung bersambut, dalam situasi yang bersamaan muncul pula iklan acara di televisi yang bertajuk Bosan Jadi Pegawai. Sebuah kontradiksi yang menarik buat Oddie. Pegawai ingin jadi Raja, Raja ingin jadi pegawai. Seberapa lelahnya Gori hingga dirinya enggan untuk menikmati kekuasaan layaknya lagu milik /rif? Dari status yang dimunculkan oleh Gori itu, tentu mengundang simpati dan empati Oddie. Percakapan melalui BlackBerry Messenger dibuka Oddie dengan basa-basi :

Oddie    : “Gor, hari ini koki rumah lu masak apaan?”
Gori       : “Hari ini sih masak sayur-sayuran. Soalnya keluarga gue lagi diet. Jadi banyak sayurnya.”
Oddie    : “Wow, enak banget tuh, gue juga suka banget sayur, boleh ya gue ke rumah lu?”

*terdengar teriakan mami Oddie di dapur sambil membuat adonan : “Oddie, cepet dimakan sayurnya, jangan suka pilih-pilih makanan!!! Masa cuma gorengannya aja yang dimakan??!!”

Gori       : “Oh, boleh dong, lu makan di sini aja ya, gue tunggu lu sekarang”
Oddie    : “Siipp, gue abisin makanan lu, hahahaha.... c u there brother”

“Hihihihi...Toh, meskipun banyak sayur, lauk di rumah Gori pasti banyak. Ayam Goreng, Gurami Goreng, pasti banyak macemnya,” pikir Oddie penuh kepicikan.

Setelah mengakhiri chat dengan Gori, Oddie bergegas meraih jaket, helm dan kunci motornya. Sempat berhenti beberapa detik karena melihat sebuah album yang tergeletak di atas meja belajar, Oddie memutuskan untuk meraih album itu dan membawa ke rumah Gori.

***

Meskipun sudah sering ke rumah Gori, selama perjalanan dari pagar depan hingga masuk ke ruang tamu Gori, Oddie tidak pernah berhenti berdecak kagum. Seperti orang udik yang baru masuk kota, sambil menenteng album Oddie berulang kali komat-kamit baca mantera agar kelak memiliki materi yang terhampar di rumah Gori ini.

Sampai di ruang tamu yang dihiasi oleh foto keluarga besar dan masa kecil Gori, Oddie disambut Gori bagaikan saudara kandungnya dari Kazhakstan. Maklum, Gori adalah anak tunggal di keluarganya, jadi sering kesepian meskipun banyak fasilitas yang dimilikinya. Melihat kehadiran Oddie, Gori sangat terhibur.

“Gue heran Gor, apa yang ngebuat lu jadi bosen?” tanya Oddie sambil berjalan menuju area kolam renang pribadi Gori.

“Sebenernya banyak hal yang ngebikin hidup gue monoton Od. Kadang gue ngerasa kekayaan ini seperti nyiksa gue. Lu belum pernah kan ngerasain les privat hampir setiap hari, bantuin bisnis papa yang ribet, dijodoh-jodohin ama anak-anaknya temen papa, ironisnya lagi gue jarang kumpul bareng keluarga gue,” cerita Gori panjang lebar.

Oddie hanya manggut-manggut sambil mengernyitkan dahi mirip Tiffatul Sembiring yang lagi mikir mecahin masalah “provider-provider nakal” di Indonesia. Tidak ingin menghambat aliran curhat Gori, Oddie diam seolah-olah mengisyaratkan Gori untuk bercerita lebih lagi.

“Selama ada lu Od, Bokir, Ruben, dan Septian, gue jadi ngerasa kalau lu pada bukan sekedar sahabat, tapi udah jadi saudara gue. Itu yang kadang jadi pikiran gue saat ini. Waktu gue menemukan kebahagiaan di dalam kalian, kebahagiaan itu harus siap-siap pergi lagi karena gue harus memenuhi keinginan orang tua gue,” keluh Gori.

Melihat Oddie yang sedari tadi menenteng sebuah album berukuran A4, Gori jadi penasaran dan langsung menyambar album itu. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, Gori membalikkan halaman depan dan mulai menjelajahi isi album itu. Gori terkejut melihat foto-foto Oddie yang terlihat akrab dengan maminya, adiknya, Mr.Robert, Bokir, Ruben, Septian, dan Gori sendiri.

Sesekali Gori tertawa lepas saat melihat foto Bokir yang sedang dikejar anjing Pitbull milik Mathilda, anggota Geng Cuwit-Cuwit. Dibaliknya lagi, muncul pemandangan foto mereka berlima yang sedang berpelukan di camp persahabatan. Sempat terdiam dan senyum kecil tersungging di bibir Gori. Dibaliknya halaman berikut, tampak foto Mimi yang digendong Mr.Robert dan Oddie yang sedang menggendong maminya. Bukan ikut melihat album itu, Oddie justru malah melihat ekspresi wajah sohibnya itu.

“Seru banget ya pengalaman-pengalaman kita. Tapi keluarga juga berarti banget buat gue. Sebenerya hidup kita sama kok kayak album ini, ngga cuma diisi foto persahabatan kita. Ada keluarga, ada temen-temen yang lain. Mungkin kelak ada foto pacar gue,” canda Oddie dengan menaikkan alisnya yang tebal itu.

Gori tidak menatap mata Oddie. Tangannnya sibuk membolak-balikkan tiap lembar dalam album berwarna merah maroon itu. Sesekali matanya melirik ke arah Oddie yang masih melanjutkan dakwahnya.

“Yang jelas, letakkan mereka masing-masing di posisi yang tepat. Saat ini lu coba fokus ke kehidupan keluarga lu. Gue liat papa mama lu sayang banget ama lu. Coba lu liat semua fasilitas yang lu miliki di rumah ini. Bukannya itu bukti cinta mereka sama lu Gor?” tanya Oddie yang tidak mengharapkan jawaban Gori.

“Untuk saat ini gue pengen banget memilih jalan gue sendiri. Kita kan udah bukan anak kecil lagi Od,” kata Gori membela diri sambil menatap foto keluarga Oddie yang sedang merayakan ulang tahun Oddie ke 17.

Oddie berdiri dan mendekatkan tubuhnya ke kolam renang milik Gori. Setelah melipat bagian bawah celana panjangnya sampai berhenti di lututnya, Oddie melanjutkan nasihatnya sembari membenamkan kakinya ke dalam kolam.

“Ouww...Bener banget. Gue setuju ama opini lu Gor kalau kita bukan anak kecil lagi. Nah, karena kita udah bukan anak kecil lagi, sekarang kita kudu belajar menatap masa depan yang leeeebih jauh lagi. Itu namanya visi. Jangan takut persahabatan kita putus. Justru tanggal 10 Oktober itu jadi alarm buat kita untuk terus saling mengingat persahabatan kita,” ujar Oddie sambil menatap langit sore yang cerah itu.

Mendengar ucapan Oddie, entah hati Gori seperti cerah kembali seperti langit saat itu. Rona muka yang terpancar di wajah Gori berbeda sebelum Oddie mengutarakan hal itu. Gori menutup album milik Oddie dan meletakkan di atas kursi pantai yang berdiri gagah di samping kolam renang. Perlahan-lahan Gori mengikuti tingkah Oddie yang melakukan ritual sebelum mencelupkan kedua kakinya di dalam kolam. Dia mendekati Oddie dan mengutarakan responnya dari ucapan Oddie.

“Yep. Setiap perkataan lu ngga akan gue lupain Od. Kalau memang jalan hidup gue seperti ini gue harus syukuri. Thank u so much Od. You’re my best friend forever,” tutur Gori sambil melemparkan senyumnya pada Oddie.

“Udah kayak Paris Hilton-Nicole Richie aja kita pake istilah BFF, hahaha...” canda Oddie menutup percakapan mereka.

Sambil mereka bercanda dan bermain-main air, tidak Oddie sadari seluruh pembantu Gori sudah memersiapkan hidangan makan malam yang penuh dengan aneka sayur mayur untuk Oddie dan Gori. Sampai tiba waktunya Oddie akan menikmati hidangan makan malam, Oddie terjejut karena hidangan di meja makan Gori semuanya bernuansa Ever Green. Gori melarang Oddie pulang sebelum makan hidangan yang disediakan.

“GUA GA MAO SAYUR SEMUA!! BUSET!! PARE, JENGKOL, SAWI, TERONG, lu ngerjain gue Gor??” teriak Oddie ditambah pelototannya di meja makan sambil ditarik Gori agar tidak beranjak.

“Lho kan lu yang bilang bakal abisin semua. Lu kudu ngehargain hidangan raja!” paksa Gori sambil tetap menarik Oddie.

“Buset, gue ga nyangka lu raja hutan. Lepasin gue Gor!! Lepasiiiiiinnn... Gue ngga mau makan Jengkoooolll, Pareeee....Huhuhuhu... Terrrooonngggg, eh, Tolooooongggg....” rengek Oddie.

bersambung...

Kamis, 13 Oktober 2011

10 Oktober (Chapter 12)

pic. by : Johansen Halim
Peninggalan Mr.Robert untuk Oddie dan Mimi sebelum kembali ke Inggris benar-benar menakjubkan. Begitu menerima BlackBerry, Oddie dan Mimi jadi makin sibuk dengan mainan barunya itu. Bahkan, Oddie yang biasanya ngga terlalu ngikutin arus informasi di luar kini jadi orang paling update di SMA Pahlawan Bangsa. Mulai berita Steve Job sampai Ayu Ting-Ting Oddie paham.

 Siang itu saat pulang sekolah, Oddie, Ruben, Bokir, Gori, dan Septian nongkrong lagi di tepi lapangan basket sekolah. Cuma sekarang sedikit berbeda, biasanya Oddie selalu balapan ngomong dengan Bokir, kini Bokir menang telak. Oddie cuma ikutan senyum tawar waktu Bokir menceritakan kisah kucingnya yang ekornya kesangkut di antena rumahnya.

“Emm...emang tadi gue cerita apaan Od kok lu ikutan ketiwi gitu?” sindir Bokir yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Oddie.

“Ya itu, kucing lu kan?” sahut Oddie masih sibuk dengan BlackBerrynya.

“Kenapa kucingnya Bokir?” tanya Septian dengan nada pura-pura tidak tahu.

“Eeeeee...Kena antraks kali,” jawab Oddie sambil mesem-mesem merasa bersalah karena ngga menyimak cerita Bokir.

“BlackBerry lu tuh kena panu. Taruh bentar napa Od, lagi asik kumpul masa lu cuma nimbrung mesem. Gori aja ga begitu-begitu banget ama BlackBerrynya,” sanggah Bokir yang kemudian dipatuhin Oddie.

Bokir, Septian dan Ruben jadi sedikit jengah dengan kebiasaan baru Oddie. Tidak hanya kejadian tadi yang membuat sohib-sohib Oddie kesal. Oddie hampir tidak bisa lepas dari BlackBerry barunya itu. Alasan Oddie selalu mengatakan sedang kontak dengan Mr.Robert. Bisa dibilang sejak memegang BlackBerry barunya itu sense of humor Oddie jadi berkurang. Malah lebih mirip pusat info. Di mana-mana update info, update status.

Sebelumnya memang Gori sudah mengatakan pada Oddie kalau BlackBerry bisa jadi ancaman kalau tidak digunakan dengan bijak. Ancaman malas belajar, malas berinteraksi dengan orang, sampai malas makan lantaran uang jajannya dipakai buat beli pulsa.

Satu yang pasti, sejak kehadiran BlackBerry di tangan Oddie, ketiga sahabatnya yang cuma memakai handphone ala kadarnya itu seperti tidak lagi menjadi perhatian Oddie. Sampai akhirnya Bokir, Ruben, Septian memutuskan untuk tidak menghiraukan Oddie sampai benar-benar sadar. Gori yang punya BlackBerry ditugaskan untuk menjadi pelarian Oddie karena jangan sampai Oddie minum Baygon setelah “ditinggal” ketiga sohibnya itu.

“Pokoknya kalau sampai dia masih kagak hirauin kita, kebangetan itu Oddie ama BlackBerry,” seloroh Bokir mendapat persetujuan dari Ruben, Gori, dan Septian.

***

Ternyata memang benar apa yang diucapkan Bokir, Oddie bahkan jadi lebih lemot dari BlackBerrynya kalau diajak ngomong. Kalau sohibnya ngga sampai mengulangi omongannya dua kali rasanya belum cukup buat Oddie. Sampai akhirnya rencana itu dijalankan, Bokir, Septian, dan Ruben mencari celah untuk mengambil kesempatan “ngambek”nya.

Pulang sekolah waktunya untuk berkumpul di tepi lapangan basket, Bokir membahas topik yang seru. Kali ini tentang masa kecil Bokir yang pernah ikut lomba minum air putih sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan kotak pensil Hello Kitty. Oddie seperti biasa, sibuk dengan dunianya. Sontak, keempat sohibnya dari yang heboh ha ha hi hi mendadak diam dan tidak ada yang berbicara.

“Kir, Kir, tadi lu cerita apa? Kok mendadak silent? Menangin kotak pensil kero-kero pi ya?” tanya Oddie sambil masih mencat-mencet BlackBerrynya.

“Tauk ah, tanya aja ama san-san wa-wa, pulang yuk, kayaknya udah pada punya kesibukan sendiri-sendiri kan?” ujar Bokir yang kemudian beranjak dari tempat duduknya.

Bokir, Septian, Ruben dan Gori tanpa pamit tanpa permisi langsung mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan Oddie.

“Lho Kir, Sep, Ben, Gor, pada ke mana? Sorry, ikutan dong,” teriak Oddie dengan berlari ke arah keempat sohibnya itu.

Bingung juga si Oddie karena keempat sohibnya berpencar ke tempat masing-masing. Mau ikutan juga tinggal pilih mau ikut siapa. Oddie dibuat bingung. Mau ngikutin Bokir ke rumahnya, ato Gori ke gym, Septian ke tempat latihan ngeband, atau Ruben ke sasana pelatihan teater.

Yang jelas saat itu Oddie jadi merasa bersalah karena tidak menghiraukan sohib-sohibnya. Keempat sohibnya tidak pernah bertindak seperti itu sebelumnya. Nasi sudah menjadi bubur sum-sum. Oddie harus berbuat sesuatu supaya Bokir, Gori, Septian, dan Ruben tidak kesel lagi dengan tabiat baru Oddie itu.

***

Panorama Wajah, Sasana Pelatihan Teather, pk 14.00 WIB

Bangunan itu tidak terlalu besar. Mungkin lebarnya hanya berkisar 5 meter. Cat temboknya tampak sedikit mengelupas dengan atap yang sudah mulai menghitam karena digilir hujan dan panas. Hanya sedikit sedap dipandang saat mulai masuk ke pekarangannya karena banyak ditemui bunga-bunga yang indah. Meskipun terlihat kuno, bangunan itu tampak kokoh.

Oddie mulai menyusuri halaman pekarangan itu dan akhirnya sampai di bibir pintu. Suara Ruben terdengar jelas meskipun Oddie belum masuk ke dalam aula teather milik ayahnya itu. Dialog Ruben yang melankolis dan mendayu-dayu itu membuat Oddie tidak enak untuk langsung masuk ke dalam. Hanya separuh kepala Oddie yang berani untuk melihat situasi di dalam. Begitu takjub Oddie melihat kawannya yang satu itu, berdialog dengan 9 orang siswa, seolah-olah dia adalah sutradaranya.

Setelah beberapa saat melongokkan kepalanya, Oddie perlahan-lahan mulai masuk dan menempati salah satu bangku penonton teather paling belakang. Menunggu Ruben cukup lama, sesekali Oddie ingin banget keluarin BlackBerry dari kantongnya. Sontak, dia teringat kejadian tadi dan memasukkan kembali BlackBerrynya.
Saat mulai rehat, Oddie beranjak dari kursi dan melambaikan tangan ke arah Ruben. Ruben menghampiri dengan menenteng sebuah naskah yang lebih tebal dari modul bimbingan belajar matematika mereka. Entah kenapa, Oddie jadi salah tingkah dengan sahabatnya itu. Mungkin karena kesalahannya itu. Dengan sedikit tergagap, Oddie basa-basi.

“Hai Ben, hehehe. Keren tadi. Lu ngga coba casting Harry Potter 8? Hehehe,” canda Oddie berusaha mencairkan suasana.

“Udah tau salah lu di mana?” ujar Ruben dengan nada yang cukup ketus.

“Iya, gue tau. Maapin ya. Gue ga maksud cuekin kalian. Maap ye ben. Gue emang salah. Punya barang baru bagusan dikit udah cuekin kalian,” ujar Oddie pasrah.

Dalam benak Oddie, Ruben adalah orang paling sabar yang pernah dia temui. Jarang sekali Ruben mengutarakan kekesalannya. Tetapi hari itu Ruben seperti tidak mendengar omongan Oddie. Justru Ruben kembali ke arah panggung dan memanggil seluruh kawannya untuk berlatih kembali.

“Guys, kumpul yuk! Sekarang kita mulai dari scene.........”

Suara Ruben terdengar sayup-sayup di telinga Oddie. Dia tidak habis pikir bahwa Ruben akan bersikap seperti itu. Ingin rasanya Oddie update status dengan emote sedih, nangis, guling-guling, tapi Oddie ingat bagaimana BlackBerry itu membuat dia dan sohibnya menjadi renggang. BlackBerry itu disakukan lagi.
Oddie berjalan layu bak game Plant VS Zombie menjauhi kursi penonton dan mulai mendekati entrance gedung teather. Ingin rasanya dia memakan otaknya sendiri yang tidak berpikir jernih sebelumnya.

“Mungkin Septian bisa nenangin gue, moga-moga dia ngga ikutan marah,” gumam Oddie dalam hati sambil menyalakan motornya.

***

Studio Melodika, pk 15.30 WIB

“Buset, lagu apa ini?? Studio Band ato depan gedung DPR nih, berisik banget,” gumam Oddie saat mulai memasuki ruang depan studio yang disewa Septian dan teman-teman bandnya.

Bayangkan, belum masuk ke studio rekaman, dari luar Oddie sudah bisa mendengar gebukan drum, petikan gitar, betotan bass, pencetan keyboard, dan teriakan suara vokalisnya, yaitu Septian sendiri. Lagu rock yang sedang dilatih oleh Septian dan bandnya adalah lagu yang akan dipakai mereka untuk lomba band indie tingkat Nasional.

“Gila, kalo nyanyinya model gitu, mungkin ga ya Septian bisa nenangin gue?” gumam Oddie sambil ngedengerin Septian nyanyi bagian bridge lagu Linkin Park, Numb.

Pelan-pelan Oddie mulai masuk ke jalan menuju studio yang berhadapan dengan ruangan mirip aquarium raksasa. Kontan Septian yang berada di dalam kaget melihat Oddie yang tiba-tiba muncul dari luar. Jelas terlihat dari kaca bening raksasa itu. Entah sengaja atau improvisasi, teriakan Septian jadi makin nge-grunk dan powerfull setelah melihat kehadiran Oddie.

Setelah tenggorokan Septian benar-benar Numb, Septian menyambut Oddie dengan suara parau tanpa mengeluarkan seluruh tubuhnya di luar studio.

“Ngapain ke sini? Lu mau main sasando?” tutur Septian ketus.

“Tadi gue dari tempat Ruben. Sekarang gue bole ganggu lu bentar kan? Hehehe..  Sep, sorry ya belakangan ini gue jadi jauh dari kalian, lu masih mau kan sohiban ama gue? Gue tau kok salah gue di mana,” tanya Oddie polos.

“Gitu doang? Gue kira lu nawarin kontrak rekaman buat Band gue. Gue latihan dulu ya,” jawab Septian dengan nada santai dan kembali memegang gitarnya.
Oddie benar-benar pengen masuk ke studio itu dan berteriak sekencang-kencangnya. Ternyata Septian juga berpikiran sama kalau Oddie sudah berubah sejak BlackBerry itu menghampiri kehidupan Oddie.

Sesekali Oddie pengen lihat BlackBerrynya, tetapi jadi tidak bersemangat karena teringat teman-temannya yang perlahan-lahan mulai tereksodus. Berjalan dengan gontai keluar dari Studio Melodika, akhirnya Oddie melanjutkan ke rumah sohib utamanya, Bokir. Mungkin Bokir bisa berpikir lebih jernih.

***

Rumah Bokir, Gang Senggol, pk 16.45 WIB

Sudah seperti rumah sendiri, Oddie tanpa malu langsung masuk menuju ruangan Bokir. Tepat berada di depan pintu kamar Bokir, Oddie mengetuk sambil memanggil dengan mesra.

“Bokir Di Caprio, boleh masuk ngga?” panggil Oddie sambil mengetuk pintu dengan seirama.

Tidak mendengar jawaban setelah beberapa saat, Oddie memilih untuk duduk di ruang tamu Bokir. Oddie mengira bahwa Bokir di dalam lagi ngambek dan ngga mau membukakan pintunya buat Oddie. Hampir setengah jam lebih Oddie menunggu Bokir keluar dari kamarnya, sampai beberapa kali Oddie mengetuk pintu Bokir dan berceloteh merayu.

“Kir, maafin gue. Gue janji ga bakal ngacuhin kalian lagi. Gue tau BlackBerry bisa mengalihkan perhatian gue dan bikin pertemanan kita jadi ngga asik. Dengan kondisi sekarang gue sadar kalau BlackBerry itu bukan segalanya buat gue. Persahabtan kita yang terpenting di hidup gue. Jadi tolong Kir maafin gue. Kirr, lu ngambek apa tidur sih Kir? Masa kudu gue dobrak kayak di pilem-pilem??” oceh Oddie yang sudah mulai tidak sabar itu.

Hanya berselang beberapa detik, Emak Bokir muncul dari kamarnya dan terkejut dengan kehadiran Oddie.

“Ya ampun nak Oddie, Bokirnya lagi ngga ada di rumah. Lagi keluar ama dek Gori, katanya sih mau diajakin main bilyard di rumah nak Gori, tumben kagak ikut?” ujar Emak Bokir.

“Ooo...gitu ya mak. Udah dari tadi ya mak? Ya udah, makasih ya mak. Oddie pamit dulu,” ujar Oddie dengan lemas sambil ngacir dari tempatnya berdiri.

Sekali lagi, Oddie berjalan tanpa semangat. Semua sohibnya menghindari dia, hanya tinggal Gori yang belum dikunjunginya. Tetapi melihat reaksi ketiga temannya itu, Oddie jadi optimis kalau tindakan Gori kurang lebih akan sama dengan ketiga sohibnya itu.

Karena hari sudah mulai menjelang petang, Oddie kembali ke rumahnya dengan menggunakan motor butut kesayangannya itu. Tanpa terasa bahwa seharian itu Oddie tidak memegang BlackBerrynya. Tidak tahu apa isi pesan yang tertinggal selama dia menghampiri sohib-sohibnya.

Setelah Oddie menyalakan mesin dan mulai menjauhi rumah Bokir, sesosok bibir tebal dan pipi tembem muncul dari dalam jendela kamar Bokir. Ya, sang empunya bagian tubuh itu adalah Bokir yang sedari tadi berada di dalam kamar itu.

***

Oddie tiba di rumahnya dan tanpa berhenti di meja makan dia langsung masuk ke kamarnya. Tanpa mengganti seragam dan melepas atributnya, Oddie merebahkan tubuhnya. Lampu merah berkedip di sudut kanan atas BlackBerry Oddie. Dengan sedikit lunglai Oddie membuka pesan yang masuk di BlackBerry Messengernya. Berkirim pesan dengan Mr.Robert tampak sedikit melegakan Oddie.

Entah Mr.Robert itu ternyata lulusan Cenayang University atau Ki joko Bodo International College, tiba-tiba di akhir chatting, Mr.Robert memberikan pesan sesuai dengan apa yang dialami Oddie sekarang.

Mr.Robert

Oddie, aku mau kamu jangan terlalu sering bermain BlackBerry. Ingat belajar, ingat mami, ingat Mimi, dan ingat sahabat-sahabat kamu. Don’t waste your time with your own world, especially with your BlackBerry. Okay? God Bless You.  

Oddie
Yes, Sir! I promise :)

Singkat, padat, namun pesan itu seperti teguran keras bagi Oddie. Setelah itu Oddie memutuskan untuk beranjak dari kamarnya dan segera menyusul ke rumah Gori untuk menemui Bokir dan Gori.

***

Rumah Gori, pk 19.00 WIB

Rumah Gori tidak terlalu ramai seperti biasanya. Namun, ada sesuatu yang berbeda ketika Oddie mulai masuk ke dalam rumah Gori. Banyak makanan yang tersedia di meja makan Gori. Oddie jadi salah tingkah karena takut di rumah Gori akan ada acara. Oddie menunggu di ruang tamu dan mencoba untuk menghubungi Gori. Meskipun telah dibaca isi pesan Oddie, tetapi tidak ada balasan sedikitpun dari Gori.

Tiba-tiba keempat sohib Oddie muncul dengan menuruni tangga berbentuk spiral milik Gori. Mereka berempat tertawa bersama dan menghampiri Oddie. Dengan membawa 5 gelas berisi Cola, mereka menyeret Oddie ke meja makan dan berkumpul di meja makan.

“Perlu kita ingat dan kita rayakan. Hari ini kita tetapkan sebagai hari resminya persahabatan kita untuk selama-lamanya,” ujar Septian.

“Kelak sampai kita berpisah untuk mengejar cita-cita kita masing-masing, kita tidak akan melupakan hari ini, tanggal 10 Oktober adalah hari persahabatan kita,” imbuh Ruben.

“Sorry ya Od, kami ga bermaksud ngejebak lu. Jujur kami sempet kecewa dengan sikap lu sejak punya BlackBerry. Tapi lu sportif dan kami bangga punya sahabat kayak lu,” tutur Bokir.

“Terlepas dari kasus BlackBerry ini, gue juga minta maaf buat kesalahan yang mungkin pernah gue buat ke kalian. Kalian yang terbaik dan gue janji akan selalu ngejaga persahabatan ini,” ujar Oddie sambil merangkul bahu Bokir dan Ruben.

Mereka tertawa bersama. Bergembira dan bercanda seperti biasanya sambil menyantap hidangan yang disediakan Gori. Dengan diiringi permainan gitar Septian, mereka menyanyikan bersama lagu "Ingatlah Hari Ini" milik Project Pop di kolam renang milik Gori. Namun, di balik tawa mereka, Gori seperti menyembunyikan sesuatu. Tidak sadar ada air mata yang keluar dari mata Gori di tengah-tengah canda tawa para sahabatnya.
 
bersambung...

PS : Cerita ini didedikasikan untuk semua pengguna BlackBerry, termasuk saya sendiri untuk lebih mawas diri dengan membangun komunikasi interpersonal yang lebih baik antar sesama manusia ^^

Selasa, 11 Oktober 2011

Tertusuk Panah Asmara (Chapter 11)

pic.by : Johansen Halim
Tidak hanya sekedar gandengan, mami tidak biasanya tersenyum semanja itu dengan pria lain. Pria blasteran itu juga tampak sumringah mengajak mami masuk dengan menenteng kotakan yang sudah dibawa mami. Oddie dan Mimi melongo bin penasaran bukan kepalang. Benarkah pria blasteran yang mukanya ngga beda jauh sama Mel Gibson itu papi baru mereka.

“Waduh, bakal punya adik pirang nih,” celetuk Mimi setelah tidak lagi melihat pria blasteran dan maminya itu.

“Hus, sembarangan ngomong lu Mi,” tegur Oddie.

“Emang Kak Oddie ga mau punya papi baru? Kan asik, tiap hari ngomongnya Inggris melulu. Lumayan, bisa benerin grammarnya Kak Oddie,” sindir Mimi sambil cekikikan.

“Eeeehhh, malah ngeledekin. Jalan kaki ato marathon nih?” ancam Oddie yang sudah mulai menunggangi motornya itu.

“Iya ya ya ya ya... Becanda kok kakakku yang ganteng,” rayu Mimi sambil ngegelitikin pinggang Oddie.

Setelah melihat adegan maminya itu, dalam pikiran Oddie berkecamuk. Papi baru? Mungkin itu seperti kejutan di siang bolong buat Oddie. Akan ada sesosok pria asing yang hadir di rumahnya, dan tidak main-main, posisi orang baru itu akan duduk sebagai kepala keluarga mereka.

Selama perjalanan, Oddie hanya diam dan fokus mengemudi. Berbeda dengan Mimi yang mulai nyanyi-nyanyi lagu Barat. Tampaknya itu pemanasan artikulasi dan aksentuasi biar bisa fasih ngomong dengan calon papi barunya itu. Lagi-lagi Mimi berhasil memecah lamunan Oddie dengan lagu The Pretenders berjudul I’ll Stand By You.

“Ooooohhh, why you look so sad?” tanya Mimi sambil melantunkan bagian awal lagu soundtrack serial Dawson’s Creek itu di telinga Oddie.

Nyanyian itu sedikit membuat Oddie tersenyum, tetapi senyum itu tidak dilanjutkan dengan jawaban yang diharapkan Mimi. Mimi jadi kembali ke bakat asalnya sebagai mantan pesinden di sekolahnya.

“Ono opo toh kang maaaaas....?” tanya Mimi dengan style Sundari Sukotjo, Pesinden Legendaris Indonesia.

“Hahaha.. Udah ganti genre Mi? Ngga apa-apa, kak Oddie masih shock aja Mi,” jawab Oddie sambil berjuang untuk menoleh ke arah Mimi.

“Kak Oddie ngga seneng ya kalau kita punya Papi baru?” tanya Mimi dengan nada sedikit pesimis.
Hanya beberapa detik Mimi bertanya, Oddie buru-buru menglarifikasi pemikiran adiknya.

“Ohh, ngga kok, ngga masalah buat kak Oddie selama Mami cinta. Namanya juga lagi tertusuk panah asmara. Lagian terlalu cepet sih kalo kita nyimpulin itu calon Papi kita, bisa aja kan itu sahabat pena mami,” ujar Oddie.

Bagi Oddie kebahagiaan keluarganya adalah kebahagiaan baginya pula. Kalau memang punya papi baru berarti memang sudah saatnya keluarga Oddie menjadi utuh kembali. Asalkan mami cinta, Oddie akan berjanji menjadi anak yang patuh dan berbakti pada papi barunya. Kalau Mimi? Tidak perlu ditanya. Mau itu pedagang petasan Lebaran atau penjual bakso kepala sapi, selama itu bule Mimi akan menerimanya.

***

Pemandangan sore di rumah Oddie jadi semakin bersih. Barang-barang yang biasanya berserakan sudah berada di posisi yang sebenarnya. Siapa lagi kalau bukan pekerjaan Mimi. Mimi berencana untuk meminta maminya mengundang calon papi barunya itu. Boro-boro, niat itu dihambat dulu oleh Oddie waktu Mimi mengutarakan niatnya.

“Jangan Miii! Biarin aja Mami yang bawa ke sini sendiri. Kalau memang pria bule itu serius kan nanti bakal di bawa ke...” belum selesai Oddie ngomong, tiba-tiba terdengar orang memberi salam dengan bahasa Indonesia yang dipaksakan.

“She-law-mouth-shore-ray...” terdengar suara lantang dari pintu masuk.

Oddie benar-benar tersentak dengan salam itu. Dia dan Mimi sama sekali tidak menduga kalau waktunya tiba lebih cepat dari perkiraan mereka. Apakah saat ini juga bule itu melamar mami? Siap atau tidak memiliki papi baru? Yang jelas bule itu sudah menginjakkan kakinya di rumah ini dan mungkin pijakan pertamanya ini akan menetukan segalanya. First impression memegang kunci untuk menjalin hubungan lebih dekat.

Oddie dan Mimi saat itu masih berada di ruang makan keluarga. Mereka jadi bingung sendiri, antara Mimi yang ingin menyambut papinya dengan bahasa Inggris dan Oddie yang masih bergulat dengan pemikirannya itu.

“Oddie, Mimi, ke sini bentar nak, ada tamu,” teriak mami dari ruang tamu sambil melepas sepatu hak tingginya dan meletakkannya di samping pintu masuk.

Hanya berselang sekitar 7 detik, Mimi muncul di ruang tamu. Sesuai dengan harapannya, bule yang duduk di ruang tamu bersama maminya itu adalah bule yang dilihatnya tadi siang bersama Oddie. Bak sales alat memasak, mami mulai memperkenalkan Mimi di depan pria bule itu.

“Rob, she’s my daughter. Her name is Mirah. We use to call her with Mimi. And Mimi, He is Robert, my best friend,” terang Mami.

Mimi mesem-mesem sambil bersalaman dengan Robert. Tampak sekali raut muka Mimi yang pengen banget bales pakai bahasa Inggris, tapi apa daya Mimi cuma bisa membalas dengan lirik lagu Lionel Richie.

“Helloooo, is it me you’re looking for?” balas Mimi dengan polos.

Mendengar balasan itu, Robert dan mami tertawa lepas. Jawaban yang kurang tepat itu tak pelak mengundang rasa gemas Robert dengan Mimi. Tidak tega melihat Mimi salah tingkah, Robert yang sudah lama tinggal di Indonesia itu mengeluarkan keahlian bilingualnya.

“That’s my favourite song. Hahahaha... Tidak usah pakai bahasa Inggris Mimi. Saya bisa berbahasa Indonesia,” canda Robert sambil merangkul  bahu Mimi.

Rasa malu Mimi hilang seketika karena Robert sangat supel dan cepat mengakrabkan diri. Terlebih lagi pelukan itu membuat Mimi jadi makin suka dengan Robert. Kesan pertama yang ditunjukkan Robert pada Mimi begitu membekas. Mengesankan dan baik. Terlalu asyik bercanda, mami lupa kalau Oddie belum muncul dari peredaran. Kontan Mimi yang menjadi sasaran empuk untuk diinterogasi.

“Kakak kamu mana? Pasti ke rumah Bokir atau Gori ya?” tanya mami pada Mimi.

“Ada di kamar tuh. Bentar ya Mimi panggilin,” ujar Mimi yang meninggalkan mami dan Robert berdua di ruang tamu.

Sembari menunggu Mimi memanggil Oddie, mami dan Robert duduk bersama sambil melihat hasil jepretan gambar mereka di handphone Robert. Sebelum pulang ke rumah, mami dan Robert pergi bersama ke salah satu pusat perbelanjaan. Melihat foto-foto di handphone itu, mami cekikian mirip kuntilanak dapat mangsa. Sedangkan Robert tertawa bak jin lepas dari botol. Saking terlalu asyiknya bercengkerama, Oddie dan Mimi yang akan keluar menuju ruang tamu menahan langkahnya dan memilih untuk mengintai di balik rak.

Melihat aksi mereka berdua, Oddie dan Mimi jadi tidak berniat untuk keluar dan enggan mengganggu kemesraan mereka. Di benak Oddie, tidak pernah maminya tertawa selepas itu dengan seorang pria. Meskipun banyak pria yang pernah mengejar maminya, tapi hanya pada Robert senyum itu dipersembahkannya dengan ekspresi tulus.

Setelah melihat situasi yang pas, baru Oddie dan Mimi berani untuk keluar. Melihat Oddie dan Mimi muncul, maminya dan Robert jadi salah tingkah.

“Nah, Oddie, ini temen baik mami, namanya Mr.Robert. Robert, dia anak aku yang pertama, Mimi’s brother, namanya Oddie,” jelas mami memperkenalkan satu dengan lainnya.

Oddie melemparkan senyumnya yang termanis dan mulai mengakrabkan diri dengan Robert. Merasa pede karena sudah dapat info dari Mimi sebelumnya kalau Robert bisa berbahasa Indonesia, Oddie mulai meracau.

“Senang bertemu Mr.Robert. Sering-sering main ke sini. Tapi jangan lupa fruite hand-nya,” celetuk Oddie.

Mendengar celetukan itu, mami Oddie yang dari cekikikan ala kuntilanak berevolusi menjadi Suzana yang melotot ke arah Oddie. Robert tertawa dan merangkul bahu Oddie dengan penuh keakraban. Mereka berempat tertawa bersama. Di tengah-tengah tawa itu, Oddie berujar dalam hati bahwa dirinya sangat nyaman berada di sisi Mr.Robert. Seperti ada chemistry yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

“God, pria bule ini baik banget. Ngga salah kalau mami jatuh cinta,” ujar Oddie dalam hati.

“Terima Kasih Tuhan, anak-anak bisa menerima Robert dengan baik,” ujar Mami dalam hati.

“Keluarga ini asyik sekali,” ujar Mr.Robert dalam hati.

“Moga-moga dari Mr.Robert jodoh gue bisa bule, sapa tau masih famili ama Robert Pattinson....” ujar Mimi dalam hati.

***

Tidak pernah terbayangkan suasana rumah keluarga Oddie sejak kedatangan Mr.Robert jadi semakin ramai. Oddie dan Mimi juga makin kerasan di rumah waktu Mr.Robert berkunjung ke rumah. Tidak jarang mereka keluar bersama mulai dari taman bermain sampai taman safari. Semua dijelajahi oleh Keluarga Oddie dan Mr.Robert. Seperti biasa, setiap pergi ke suatu tempat, selalu ada dokumentasi mami dan Mr.Robert dengan pose-pose mesranya.

Sampai tiba suatu malam ketika keluarga Oddie dan Mr.Robert sehabis pulang dari salah satu pusat perbelanjaan. Oddie, Mimi dan maminya berkumpul di ruang keluarga sejenak sebelum akan beranjak tidur di kamar masing-masing. Menonton televisi bersama sudah menjadi kebiasaan keluarga Oddie untuk mengakrabkan mereka. Dari situ mereka bisa mengomentari para peserta ajang pencarian bakat sampai pemain sinetron yang dibayar ratusan juta rupiah per episodenya.

“Mi..Mi...Jujur ya mi, Mimi bahagia banget kalau ada Mr.Robert, kak Oddie juga ngerasain gitu kan?” ajak Mimi agar Oddie setuju dengan pendapatnya.

“Iya mi, mendadak nilai bahasa Inggris Oddie jadi tertinggi satu kelas, berasa dapet guru native gratis dadakan,” tutur Oddie.

“Yaa...Mami seneng kalau kalian suka sama Mr.Robert,” kata mami Oddie sambil mengelus rambut Mimi diikuti senyuman.

Spontan, Mimi terperanjat seolah-olah aksi kuda lumping dimulai. Tiba-tiba Mimi mengutarakan keinginannya yang sudah terpendam sejak pengintaian di PT Agung Jaya.

“Gimana ya kalau Mr.Robert jadi papinya Mimi? Hmmm....” celetuk Mimi tanpa menatap muka Oddie dan maminya.

“Oooppss...” celetuk Oddie ikut keceplosan.

Mami terkejut dan tidak berani menjawab apa-apa tentang Mr.Robert. Justru mami mengalihkan perhatian dengan menyuruh Oddie dan Mimi tidur.  

“Eh, udah yuk tidur. Besok pagi-pagi mami harus bikinin pesenan buat...” belum usai mami berbicara kedua anaknya menjawab serentak.

“Mr.Robert di PT Agung Jaya kan?” sorak Oddie dan Mimi diikuti dengan lari dan tawa kecil ke kamar mereka masing-masing.

Kontan mami Oddie kaget kenapa kedua anaknya bisa tahu kalau Mr.Robert bekerja di PT Agung Jaya karena maminya masih belum pernah cerita tentang pekerjaan Mr.Robert.

“Mimi, Oddie, kalian pernah buntutin mami ya???? Ayo ngaku!!” teriak mami dari ruang keuarga.

***

Nyanyian burung perkut di pagi hari bagaikan ringtone alarm yang syahdu. Pagi itu mami Oddie membuat kue lagi untuk PT Agung Jaya. Seperti biasa, kecupan Oddie mendarat di pipi kiri maminya yang sedang sibuk mengaduk adonan.

“Udah seger Pak Detektif? Siap buntutin siapa lagi hari ini?” sindir mami Oddie sambil melemparkan senyum manis.

“Hehehe... Abisnya penasaran banget kapan hari mami dandan cakep banget. Sesuatu yang ga biasa kan kudu diselidikin,” jawab Oddie membela diri.

Setelah mendengar jawaban Oddie, mami menghentikan sejenak pekerjaannya. Duduk bersama Oddie dan menuangkan segelas teh hangat di meja makan. Melihat seduhan teh yang wangi itu, Oddie langsung meneguknya perlahan-lahan.

“Lucu ya, selama kita bareng Mr.Robert, saking asyiknya bercanda, mami bisa lupa jelasin ke kalian kalau itu boss yang mami maksud. Tentunya kamu udah dengar dari Mimi kan?” ujar mami mengawali pembicaraan.
Seperti tidak membutuhkan jawaban dari Oddie, mami akhirnya memberanikan diri untuk bercerita apa yang menjadi kegelisahan hatinya.

“Mami masih takut kalau kalian masih belum bisa menerima kehadiran papi yang baru. Tapi, melihat situasi yang berjalan beberapa hari ini mami sedikit yakin kalau kalian bisa terima Mr.Robert,” ujar mami.

Oddie yang mendengar pengakuan mami tersenyum lebar, selebar-lebarnya.

“Mi, kebahagiaan Oddie itu waktu melihat mami tersenyum bahagia. Dan senyuman itu selalu muncul waktu Oddie, Mami, Mimi, dan Mr.Robert berkumpul,” kata Oddie sambil memegang kedua tangan maminya di atas meja makan.

Ucapan Oddie menggetarkan hati mami. Rasa haru dan bangga muncul di hati mami. Hanya kurang beberapa mili dari bola mata, air mata mami hampir saja keluar. Tidak banyak mengucapkan kata dan hanya sesaat menatap anak sulungnya itu, mami kembali melanjutkan pekerjaannya.

***

Tidak seperti hari-hari belakangan biasanya, pagi itu Oddie terperanjat dari kasur dan hampir terlambat ke sekolah. Sembari kebingungan dan membersihkan tubuh ala kadarnya, pikiran Oddie melayang ke rutinitasnya belakangan tentang alarm dahsyat milik mami.

“Tumben gue ngga denger mixer mami, pasti Mimi udah berangkat dulu naik angkot,” gumam Oddie sambil menggosok giginya di wastafel depan kamarnya.

Hanya berselang beberapa menit dari waktu menyikat gigi, Oddie langsung menuju ruang makan untuk menyempatkan diri sarapan ala kadarnya. Maminya justru sedang sibuk memasak semur jengkol kesukaan Oddie.

“Ada hajatan ntar mi kok masaka semur jengkol? Tumben ngga bikin kue buat Mr.Robert? Mimi udah berangkat duluan ya mi?” tanya Oddie sambil menyambar roti bakar dan teh hangat di atas meja.

“Udah nih wawancaranya? Mimi udah berangkat, tadi bareng ama Vira naik mobil. Udah cepet kamu berangkat Od,keburu telat nanti,” perintah mami.

Tanpa sadar pertanyaan inti Oddie justru tidak terjawab. Tetapi, setidaknya Oddie bisa membaca bahasa tubuh maminya yang menunjukkan kegalauan hatinya. Hingga jawaban itu Oddie temukan waktu pulang dari sekolah. Mimi yang pada saat itu juga bersama Oddie ingin mencari makanan yang biasa ditinggalkan oleh maminya. Apa daya, di meja makan nihil, hanya ada meja polos bermotif bunga-bunga besert taplaknya.

“Bukannya tadi mami masak semur jengkol ya? Kok kagak ada??” heran Oddie yang diikuti oleh Mimi.

Tidak lama mami pulang dengan dandanan yang sangat cantik. Dari raut wajahnya tampak kesedihan dan gembira berpadu menjadi satu. Kalau saja muka manusia bagaikan koin yang memiliki sisi depan belakang, mungkin wajah mami di depan tampak sedih, namun ada ekspresi gembira yang tidak dapat disembunyikan.

“Semur jengkolnya mami kasih semua ke Mr.Robert. Ini buah tangan dari Mr.Robert buat kalian,” ujar mami sambil memberikan dua buah BlackBerry untuk Oddie dan Mimi.

Oddie dan Mimi girang bukan kepalang. Tapi kegirangan itu berhenti seketika ketika mami membawa kabar kurang menggembirakan.

“Mami baru anterin Mr.Robert ke airport. Dia harus segera balik ke Inggris karena perusahaannya yang dulu kolaps dan membutuhkan tenaganya lagi, setidaknya dari alat komunikasi ini kita bisa kontak sama Mr.Robert kalau kita mau,” jelas mami dengan intonasi yang semakin menurun.

Oddie dan Mimi bingung, senang lantaran mendapat BlackBerry, tetapi sedih karena seperti kehilangan sesosok ayah dalam kehidupan mereka. Mereka berpikir bahwa tidak akan bertemu kembali dengan Mr.Robert. Mimi sempat meracau karena tidak bisa ikut mengantar Mr.Robert. Bagaikan koor yang bersahutan, Oddie juga ikutan menyalahkan maminya. Di tengah-tengah omelan mereka mami menyela dengan kabar mengejutkan.

“Meskpiun Mr.Robert jauh, tetapi dia selalu ada di hati kita dan akan kembali untuk kita,” ujar mami sambil menunjukkan kalung komitmen antara mereka berdua dengan senyuman terlebarnya. Kontan Oddie dan Mimi memeluk maminya dengan erat seolah-olah itu adalah simbol lamaran Mr.Robert kepada mami.

Tanpa sepengetahuan anak-anak, sebelumnya Mr.Robert meminta  agar mami Oddie sendiri yang mengantarkan ke airport. Mr.Robert ingin memberikan sesuatu yang akan menjadi titik perubahan kehidupan keluarga Oddie. Mr.Robert berjanji akan segera menikahi mami Oddie saat waktunya tiba nanti. Ketika urusan selesai, Mr.Robert tidak akan ragu untuk menggelar pernikahan di Indonesia. Untuk menjaga kesetiaan dan melepas rindu, Mr.Robert dan mami Oddie mengikat hubungannya dengan kalung komitmen itu.

Kesetiaan cinta mereka diuji dengan jarak dan waktu yang terlampau jauh. Tetapi, dukungan Oddie dan Mimi selalu menguatkan keduanya.

bersambung...

Minggu, 09 Oktober 2011

Pengganti Papi (Chapter 10)

pic. by : Johansen Halim

Kalau memang alarm handphone Oddie yang tidak mampu membangunkan kemalasannya, hanya ada satu alat yang mampu membuat Oddie terbangun. Apa lagi kalau bukan mixer mami tercinta. Bunyi mixer yang kurang lebih hampir sama dengan suara bor bangunan itu selalu bisa mengusik tidur Oddie dari tidurnya.

Entah bisa dikatakan bersyukur atau tidak, belakangan ini Mami Oddie sering sekali bangun pagi-pagi buta untuk membuat jajanan dan kue basah. Sudah hampir satu minggu ini pesenan Mami Oddie laris manis. Tentu Oddie ikut senang karena maminya jadi royal banget untuk mengeluarkan kocek dari dompetnya. Uang jajan Oddie dan Mimipun ikutan naik. Tapi di sisi lain, Oddie seperti ”dipaksa” untuk bangun lebih awal karena suara mixer itu.

Pagi itu Oddie yang sudah mulai terbiasa bangun pagi karena “alarm” itu menghampiri maminya.

“Pagi mam, pesenan lagi?” tanya Oddie sambil mengucek-ucek matanya yang masih setengah lengket itu.

Maminya yang masih terlalu sibuk cuma menjawab singkat agar konsentrasinya saat meramu kue tetap terjaga.

“Iya, jam 8 mesti mami anter lagi ke PT. Agung Jaya,” jawab maminya sambil mengangkat dandang berisi roti kukus itu.

Masih merasa setengah sadar, Oddie minum beberapa gelas air putih sambil menemani maminya yang sibuk dengan perangkat pembuat kuenya. Oddie cuma melihat maminya mondar-mandir bak setrikaan panas tanpa berbicara sepatah katapun. Melihat anaknya hanya membuang-buang waktu untuk lamunannya, mami minta Oddie segera beranjak dari kegiatan tak bertujuan itu.

“Kamu cepet gih mandi, bentar lagi mami yang mau mandi, musti anterin ini kue. Mimi udah mandi, lagi nungguin kamu di kamarnya. Mami udah tuangin air panas di bak mandi kamu,” jelas mami panjang lebar sambil masih sibuk dengan kue-kuenya.

Dasar Oddie yang iseng dan cinta banget sama maminya, dia berlari menyambar handuk dan mencium pipi maminya.

“Thank u mi, Oddie sayang banget ama mami,” ucap Oddie setelah mencium pipi maminya.

Maminya tersenyum dan memukul  lengan Oddie dengan penuh canda. Melihat Oddie masuk ke kamar mandi sambil bersiul fals, maminya terdiam sejenak dan mengingat-ingat betapa keluarganya bahagia ketika papi Oddie masih ada.

Sebelum kecelakaan pesawat itu menimpa papi Oddie, mereka sekeluarga begitu bahagia menghadapi hari-hari dalam rumah itu. Meskipun kini Oddie dan Mimi sudah melupakan trauma itu dan mulai belajar ikhlas, sesekali masih terbesit di pikiran mami Oddie tentang almarhum suaminya.

Alm.Gunarto Laksmono, papi Oddie yang meninggal karena mengalami kecelakaan pesawat. Kejadiannya sepuluh tahun silam ketika Oddie dan Mimi masih anak-anak. Setiap pagi bibir papi Oddie selalu mendarat di kening tiga anggota keluarganya. Namun, sejak tiada, tampaknya reinkarnasi kebiasaan papi Oddie itu menurun pada Oddie.

“Kak Oddieee!! Mimi telat nih ntar! Buruaaannn!! Mimi matiin nih lampunya...” teriak Mimi mengancam Oddie yang memecah lamunan maminya. Melihat tingkah kedua anaknya itu mami Oddie tidak lagi merasa sendiri.

Saat mulai bersiap-siap berangkat, Oddie dan Mimi sedikit merasa heran melihat maminya yang lagi dandan bak finalis Putri Indonesia. Melihat maminya yang berdandan terlalu wah untuk ukuran pagi hari, sedikit menggelitik bibir Oddie untuk nyeletuk.

“Mi, ada yang kondangan pagi-pagi? Kok pake sanggul segala?” tanya Oddie sebelum mendapati motor yang sadelnya mulai dipukul-pukul Mimi.

“Eeehhh, mami cuma mau anterin pesenan aja kok. Udah, itu adik kamu udah hampir telat, cepet berangkat,” nasihat mami Oddie sembari mencium pipi anak sulungnya itu.

Oddie merasa ada sesuatu yang berbeda dari si mami. Tidak biasanya mami pakai sanggul waktu mengirim pesanan. Boro-boro sanggul, kalau lagi ekstrim kadang ngirim pesanannya juga pake daster ditambah rol rambut yang masih melintang. Benar-benar apa adanya. Tapi sekarang mami tampil seperti ada apa-apanya.

***

Selama perjalanan di motor, omelan Mimi bak alunan backsound di tengah-tengah lamunan Oddie. Mimi Carey yang ngomelnya sudah mencapai 6 oktaf nampaknya tidak mampu menarik perhatian Oddie. Justru Oddie mengalihkan nyanyian Mimi menjadi resepsionis hotel yang penuh dengan informasi.

“Mi, tadi liat mami pake sanggul kan? Dandan rapi, cantiiikkk banget kayak mau kondangan. Pesenannya juga belakangan kenceng banget. Ga curiga Mi?” tanya Oddie memecah konsentrasi omelan Mimi.

“Sempet sih tadi liat. Tapi jangan salah kak, itu mah udah kesekian kalinya. Beberapa kali aku nanya ke Mami pesenannya ke mana, jawabannya PT. Agung Jayaaaaa mulu,” tutur Mimi.

“Terus-terus? Mami ngomong apa lagi?” tanya Oddie makin antusias.

“Hmmm... Ya ngga ngomong apa-apa lagi sih. Cuma sempet nyeletuk bilang kalo bossnya baik banget. Denger-denger waktu tadi nungguin Kak Oddie mandi, mami bilang mau keluar sebentar nanti siang, soalnya musti anterin lunch ke......” ujar Mimi.

“PT Agung Jaya!” celetuk Oddie memutus omongan Mimi.

“Ya gitu deh kak. Ehhh... stop stop stop stop, turun di sini aja bang,” seru Mimi kayak lagi berhentiin angkot.

Sampai tiba di sekolah Mimi, Oddie menurunkan adik tercintanya tepat di depan pintu gerbang sekolah yang sudah ditutup satu. Tandanya Mimi hampir terlambat beberapa menit lagi. Tanpa mengucapkan terima kasih, Mimi turun dari motor Oddie dan berlari masuk ke dalam gedung sekolah. Baru setengah tubuh masuk ke dalam gerbang, Oddie berteriak memanggil si adik.

“Mi! Nanti kakak jemput ya. Jangan pulang dulu. Jam 12 siang kakak jemput di sini nanti,” ujar Oddie sambil melemparkan senyum termanis ke adiknya. Mimi cuma mengiyakan ajakan kakaknya itu dengan menunjukkan jempolnya tanda setuju.

***

Jam 12.00 WIB tepat Oddie menunggu Mimi di seberang gerbang pintu sekolah Mimi. Memang hari itu Mimi dan Oddie pulang lebih cepat karena hari Sabtu seperti biasa kegiatan belajar hanya setengah hari. Oddie sudah membawakan oleh-oleh buat Mimi untuk nyemil di jalan. Sebungkus gorengan bakso yang dibungkus dalam plastik dan minuman sari kedelai yang dingin untuk pelepas dahaga. Dua sesajen itu cukup membuat Mimi tersenyum puas.

Selama di perjalanan, Mimi sibuk dengan gorengan bakso dan minuman sari delenya. Sampai-sampai dia tidak sadar kalau tujuan Oddie tidak ke rumah, tetapi ke sebuah perusahaan dengan gedung bertingkat puluhan lantai. Kontan Mimi keherananan dan bertanya pada Oddie apa tujuan mereka ke tempat yang tidak mereka kenal itu.

“Ini perusahaan tempat mami sering ngirim belakangan, PT Agung Jaya. Kita nungguin di sini aja biar ga kelihatan orang,” kata Oddie.

“Kok Kak Oddie yakin di sini? Dari mas Ujang ya?” tanya Mimi heran.

“Ya sapa lagi, yang sering nganterin ke sini naik Taxi kan mas Ujang, tetangga sebelah,” jawab Oddie sembari sibuk memerhatikan ruang dalam kantor dari jauh.

Ya, Oddie dan Mimi memata-matai sang Mami yang belakangan bertindak cukup aneh semenjak sering mengirimkan pesanan ke PT Agung Jaya. Sudah mendekati jam makan siang, pk 12.45 WIB Oddie dan Mimi jadi sering melototin entrance gedung itu. Jangan sampai kelewatan melihat si Mami masuk ke dalam gedung itu.

Jam sudah menunjukkan pk 13.15 WIB, tapi mami tak kunjung muncul dari pandangan mereka. Sampai akhirnya muncul sesosok pria tinggi blasteran, tinggi, putih, tampan, atletis, berambut hitam, tapi tampak sedikit berumur. Sekilas Oddie tidak terlalu terpikat oleh kemunculan pria itu, dan memang tidak seharusnya Oddie terpikat.

Berbeda dengan Mimi yang tadinya duduk di jok motor, jadi duduk selonjoran di sebelah knalpot motor Oddie setelah melihat pria blasteran itu.

“Kak Oddie, apa Mimi sudah ada di Nirwana? Malaikat yang barusan ganteng bangeeeetttt.....” tutur Mimi dengan tatapan kosong.

Oddie yang coba ingin menyadarkan justru terkena ledekan si adik.

“Yaaaahhhh... balik lagi deh ke bumi,” sindir Mimi setelah melihat wajah Oddie.

Oddie yang mendengar ledekan adiknya tidak bisa menyiksa di depan umum, hanya sekedar mengacak-acak rambut Mimi. Tidak lama, gurauan dua bersaudara itu berakhir setelah melihat pria blasteran itu menggandeng seorang wanita yang familiar di mata mereka. Sangat familiar. Bahkan, teramat sangat familiar.

“Kak Oddie!! Itu Mami!!” teriak Mimi.


bersambung...

Kamis, 06 Oktober 2011

Cuma Mau Maimunah (Chapter 9)

pic. by : Johansen Halim
Pagi-pagi buta Bokir sudah dibuat resah dengan perdebatan sang emak. Memang bukan pagi itu Bokir debat dengan emaknya. Malam kemarin percekcokan ala Bibir Yang Ditukar membahana di sebuah gubuk tak bertulang itu.

“Emak.....ngertiin Bokir sekali ini aja. Sekaliii ajaaaa...” isak Bokir diikuti gaya pemenang Piala Oscar tahun 1967. Emak Bokir tidak kalah heboh. Tampaknya Natalie Portman harus siap-siap angkat kaki dari dunia Hollywood jika melihat aksi Emak yang menentang habis sang anak tercinta.

“Lu kagak ngerti ya Kir, Emak lu udah kasih apapun buat lu, sampe raga Emak lu udah kagak ada bentuk lu masih minta yang berharga,” tentang Emak kepada Bokir.

“Sudahlah Emak, Bokir lelah, lesu, lunglai, letih.....laper juga,” kata Bokir sembari beranjak dari ruang tamu, tempat mereka beradu argumen.

“Bokir, kembali! Bokir! Lu kurang darah!” teriak Emak Bokir sambil ngelempar Sangobion.

Drama yang bergulat di antara mereka tak pelak membuat Bokir stres dan penuh ratap. Akhirnya pagi itu Bokir hanya bisa melihat motor butut kesayangannya yang sudah rusak total itu. Ya, ternyata perdebatan yang terjadi kemarin malam adalah permintaan Bokir akan sebuah motor baru kepada si Emak. Emak yang memang hanya punya penghasilan pas-pasan tidak bisa mengabulkan permintaan Bokir yang super mendadak.

Mau tidak mau Bokir harus rela untuk naik angkot menuju sekolah tercinta. Dasar memang sahabat sejati, Oddie sudah berulang kali menawarkan bantuan kepada Bokir. Oddie rela banget untuk menjemput sohibnya yang merana itu.

“Apa sih yang ga buat lu Kir. Lu kan lagi kesulitan, masa gue tinggal diem, gue jemput ya?” rayu Oddie.

“Kagak usah, biar Emak gue tau seberapa menderitanya gue. Thank u ye sob tawarannya, meskipun gue tau kalo motor lu juga mogokan, ujung-ujungnya gue yang ngedorong,” sindir Bokir. Oddie yang mendengar penolakan sohibnya itu cuma bisa cekikian karena ketahuan kebiasaannya.

Sekali agkot tetap angkot. Bokir ingin membuktikan pada si Emak kalau anaknya terlambat sekolah dan terlambat pulang karena harus naik angkot. Pagi-pagi dengan muka kusut Bokir menjinjing tas laptopnya. Tas laptop, bukan tas berisi laptop, di dalam tas laptop Bokir tidak akan menemui laptop, tetapi hanya ada buku-buku pelajaran dan buku tulis beserta alat tulisnya.

Tidak lama setelah Bokir berdiri di depan gang rumahnya, sebuah angkot berwarna hijau melon mendekat. Persis mobil angkot itu berhenti di sebelah Bokir, kemudian sang sopir melongokkan kepalanya untuk menawarkan tumpangan pada Bokir.

“Kalo siswa 500 perak kan bang?” tawar Bokir. Mendengar Bokir mengatakan 500 perak, sang sopir melotot dan menunjukkan sebuah tatto di lengannya yang tertutup kaos bonusan dari Semen Gresik.

“Lu masih punya cita-cita kan??” tantang sang sopir. Bokir yang liat tatto kapak Wiro Sableng itu langsung bergidik dan ngga berani tawar-menawar lagi.

“Ma...Maa..Masih-masih... masih bang. Pengen jadi Polwan. Eh, Polri bang,” ujar Bokir terbata-bata. Dasar Bokir yang cuma berani ngelawan Emaknya, ketemu preman sopir langsung evolusi jadi Aziz Gagap.

Bokir segera naik ke bangku belakang angkot dan duduk di sisi pintu luar. Hampir penuh sesak, hanya tersisa untuk 2 sampai 3 orang lagi. Berbagai aroma mulai dari ikan kerapu sampai terasi Betawi bercampur aduk di dalam angkot itu. Padahal hari masih sekitar pk 06.15 WIB, tetapi banyak orang yang sudah mulai sibuk dengan kegiatannya. Di dalam angkot itu mayoritas diisi para manula seumuran Emak Bokir. Hanya satu yang masih berumur sekitar 35 tahun. Itupun pria dengan kumis melintang dengan badan yang kurus kering.

Entah mengapa ketika Bokir duduk dan merenung di belakang, Bokir teringat perjuangan Emaknya yang setiap hari berdagang di pasar tradisional. Menjual berbagai sayur mayur dan ikan di pasar demi membiayai sang anak. Bokir mulai menitikkan air mata. Ya, karena kelilipan, bukan karena rasa haru.

Tiba-tiba suasana melankolis itu berubah total saat angkot mulai berhenti di sebuah daerah perumahan yang cukup mentereng. Seorang gadis polos memakai baju khas kembang desa memberhentikan angkot berisi belasan orang tersebut. Alangkah terkejutnya Bokir saat melihat gadis berambut hitam pekat dan beralis tebal itu. Kulitnya berwarna kuning langsat dan perangainya mengingatkan orang pada Kate Middleton, istri Pangeran Negeri Monarki, Inggris.

Bak Pangeran William, Bokir turun dari angkot memersilakan gadis itu masuk ke dalam.

“Mari-mari neng, di dalem masih ada satu,” lagak Bokir yang mulai kehilangan perangai sebagai pangeran, malah mirip kenek angkot.

Mendapat pelayanan yang memuaskan dari kenek dadakan itu, gadis manis itu melemparkan senyuman termanisnya. Kebetulan, Bokir duduk dekat dengan gadis tersebut. Setelah beebrapa menit merasa garing dan tidak ada pembicaraan, Bokir mulai memberanikan diri membuka omongan.

“Saya Bokir, mbaknya?” tanya Bokir sembari menyodorkan tangannya. Senyum najong terpancar dari mukanya yang benar-benar mengharapkan balasan gadis itu.

“Maimunah,” jawabnya singkat. Bokir makin penasaran.

Dilihat dari penampilannya sudah bisa ditebak kalau Maimunah adalah pembantu rumah tangga. Tapi Bokir tidak melihat status Maimunah. Kalau ada kata jatuh cinta pada pandangan pertama, Bokir mengalami itu. Bokir yang sudah tahu kalau angkotnya lewat di depan sekolahnya, pura-pura tidak melihat dan melewatkannya. Sablengnya, malah Bokir melanjutkan percakapan dengan Maimunah.

“Mau ke mana Mai? Eh, ngga apa-apa nih manggil Mai langsung, jadi sok akrab  nih?” seloroh Bokir. Melihat kesalahtingkahan pria badung itu, Maimunah cuma mesem-mesem.

“Ga apa-apa, panggil Mai aja, udah keseringan dipanggil mbak kalo di rumah juragan,” jawab Maimunah yang disambut muka sumringah Bokir.

Dalam hati Bokir sedang menjerit kencang saking senangnya. Bokir berpikir kalau memang standar Luna ketinggian, setidaknya Maimunah dapat digapai Bokir. Selain itu Bokir punya kans lebih besar mendapatkan Maimunah karena semenjak tadi Maimunah menatap dengan ekspresi gemas.

“Tiap hari ke pasar jam segini?” lanjut Bokir penasaran.

“Ya iya dong mas. Kalau ngga, mau makan apa juragan. Mana juragan rewel banget, sukanya gonta-ganti menu mulai Indonesian Food sampe Italian Food,” jawab Mai panjang lebar. Mendengar jawaban Mai, Bokir cuma manggut-manggut kegirangan.

“Wah, udah cantik, telaten, bakatnya koki internasional lagi. Gusti, Gusti, rahmat-Mu di balik musibah motor butut memang luar biasa,” jerit Bokir dalam hati. Belum selesai menikmati rahmat yang Kuasa, angkot diberhentikan oleh Mai. Bak peramal, Mai turun sambil menyadarkan Bokir dari kekhilafannya.

“Waktunya sekolah ya sekolah dong bang Bokir. Udah lewat jauh dari sini tuh sekolahnya. Saya pamit dulu ya, daaaahhh.....” sindir Mai melemparkan senyuman sambil melambaikan tangan ke Bokir. Bokir membalas lambaian Mai yang mulai dijauhi oleh angkot.

Penyesalan selalu datang di akhir. Bokir ternyata lupa kalau hari ini ada tes Geografi. Dengan penuh sesal dan takut, Bokir minta ke sopir angkot untuk kembali ke sekolahnya.

“Bang, bi...bi..bisa balik dikit ga bang ke sekolah yang...,” belum tuntas Bokir menyelesaikan permintaannya, sang sopir mulai menaikkan dua lengan bajunya.

“Beneran ga punya cita-cita lu ya?” kata sang sopir dengan nada geram.

Alhasil Bokir berhenti di tempat yang berada beberapa kilo dari sekolahnya .

***

Dari ruang tamu Bokir, mendadak Emak Bokir membawa kabar gembira. Sambil berjalan dengan gaya khas ondel-ondel Betawi, Emak Bokir memanggil Bokir dengan suara yang parau.

“Kiiirrr, sini lu. Emak di mari mau kasih lu sesuatu,” teriak Emak Bokir. Oddie yang sedang nemenin Bokir di kamarnya ikutan mendorong Bokir untuk segera ke ruang tamu.

“Tuh, Emak lu mau kasih sesuatu. Udah kayak Syahrini aja Emak lu,” ledek Oddie. Sambil Bokir berdiri dan mengusap kepala Oddie lantaran Emaknya disama-samain ama Syahrini, Bokir berjalan lunglai menuju ruang tamu.

“Apaan mak?” tanya Bokir singkat.

“Yaelah, yang manis dikit napa ama Emak lu. Sono gih lu pesen motor kesenengan lu. Paman lu di Banyuwangi ngirimin amplop jutaan buat lu beli motor,” jelas Emak sambil menyodorkan amplop berisi kisaran 12 juta Rupiah. Mendadak Bokir bergaya ala Mario Teguh, mengeluarkan kata-kata bijak yang tidak disangka dan tidak dinyana si Emak.

“Surga di telapak kaki ibu. Pemberontakan dan pemerasan akan materi orang tua adalah perbuatan paling keji di dunia. Maka dari itu, Emak boleh simpen, ambil, pakai uang itu. Bokir cukup naik angkot,” ujar Bokir. Tiba-tiba Emak Bokir ingin mengucapkan kata-kata namun Bokir keburu menutup bibir Emaknya dengan jari telunjuknya bak adegan Cinta dan Rangga.

“Jangan ucapkan apa-apa Emak, percaya pada Bokir,” tukas Bokir.
Melihat kelakuan anaknya itu, Emak Bokir girang bukan kepalang. Bokir dipeluk habis-habisan dan pipinya tidak luput dari kecupan Emaknya. Oddie yang mengintip dari kamar dan sempat mendengar cerita Bokir tentang Maimunah cuma bisa geleng-geleng dan tertawa kecil.

“Emang gila lu Kir kalo udah jatuh cinta,” ujar Oddie dari dalam kamar Bokir.

***

Selama beberapa hari Bokir benar-benar mengubah gaya hidupnya bak Pegawai Negeri Sipil yang baru dapat Tunjangan Hari Raya. Semangat bergelora, bangun pagi, dan mendapati angkot di jam yang sama setiap harinya. Entah bisa dikatakan jodoh atau tidak, hampir setiap hari Bokir dan Maimunah bertemu di angkot.

Pembicaraan makin akrab, bahkan mereka sudah sempat bertukar nomor handphone. Meskipun pulsa Bokir tidak pernah penuh, tetapi demi Maimunah, Bokir rela beli pulsa yang mahalan dikit. Setiap di rumah Bokir sering senyum-senyum sendiri. Bahkan, dia jadi semakin baik dengan Emaknya. Tak pelak, perbuatan anomali Bokir itu mengundang keheranan si Emak. Sore hari waktu sedang bersantai berdua di ruang keluarga, Emak Bokir menanyakan perubahan ekstrim yang dialami putra satu-satunya itu.

“Kir, lu kagak napa-napa kan? Sejak motor lu rungsep terus sering naik angkot, lu jadi bahagia banget. Emang lu dapet apaan dari angkot?” tanya Emak sambil dipijitin Bokir.

“Bokir? Emak kali yang dapet. Dapet calon mantu,” ujar Bokir kepedean. Emaknya yang mendengar kata-kata Bokir kontan menendang Bokir yang lagi berada tepat di depan kaki si Emak.

“Serius lu Kir???” tanya Emak kegirangan tanpa sadar anaknya sudah terjatuh dari tempat duduk rotan tersebut.

“Waduh mak, pencak silat 20 tahun lalu kagak usah dikeluarin napa? Sakit bener. Yaaa... belum sampe jadian sih mak, cuma dianya ama Bokir udah sering jalan bareng gitu,” jelas Bokir.

Melihat anaknya yang sudah mulai di ambang laku, Emak Bokir mulai sering menanyakan Mai. Bahkan, Emak ngebet banget minta Bokir bawa Mai ke rumahnya. Meskipun susah, akhirnya Mai mau diajak Bokir untuk main-main ke rumahnya.

“Ya deh bang Bokir, sekali-sekali. Kayaknya Emak bang Bokir baik,” jawab Mai saat ditanya Bokir di angkot pagi itu.

“Nanti abang antar-jemput ya pake sepeda (pinjeman) abang?” tawar Bokir.

“Ngga usah bang, nanti Mai dateng aja langsung ke rumah bang Bokir. Sampe ketemu nanti malem ya bang,” pamit Mai memutus pembicaraan saat Bokir turun persis di depan sekolahnya.

***

Jam 18.00 WIB Bokir sudah berdandan ala Elvis Presley. Emak Bokir tidak kalah heboh, bak mengikuti kontes kecantikan se-kecamatan, Emak bokir berdandan total. Berbagai makanan dan jajan tradisional sudah disiapkan oleh Emak dan Bokir. Setelah semua setting “lamaran” dipersiapkan, tiba-tiba dari luar terdengar suara salam khas wanita muslimah teladan.

“Assalamualaikum....” suara lembut nan syahdu itu membius telinga Emak Bokir.

“Tuh, tuh, calon bini lu dateng,” kata Emak sambil mendorong Bokir untuk keluar menyambut Mai.

Tidak lama setelah pintu dibuka, Bokir dikejutkan oleh penampilan yang di luar dugaannya. Maimunah begitu tampak mempesona dengan dandanannya yang sangat sederhana. Tidak banyak riasan dalam tubuhnya. Kebersahajaan dan keanggunan yang membalut fisiknya malam itu.

Bokir jadi salah tingkah sendiri dan tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana lantaran banyak yang ingin diungkapkan saat itu. Mai yang cantik, pergi dengan siapa, naik apa, boleh pulang sampai jam berapa, bercampur aduk dalam benak Bokir.

Tidak pakai lama, Bokir mengajak Mai masuk ke ruang makan yang sudah diisi oleh Emak Bokir. Sama halnya dengan Bokir, Emak begitu terpesona melihat kecantikan Mai. Tanpa basa-basi terlebih dahulu dengan Mai, Emak menarik Bokir ke kamar Emak.

“Lu kagak boleh main dukun ya!! Emak kan udah bilang sejak lu SD, kagak ada istilah cinta ditolak dukun bertindak, Emak kecewa ama lu,” bentak Emak Bokir sambil berbisik di telinga Bokir.

“Mak! Ini halal! Udah ah, malu-maluin aja tingkah kita, buruan kita keluar, kesian Mai sendirian,” bantah Bokir sambil menyeret Emaknya keluar.

Melihat tingkah anak dan ibu itu Mai tertawa kecil dan mulai mengakrabkan diri. Tidak butuh waktu lama untuk bergaul dengan Mai. Emak Bokir langsung match dengan topik Mai. Memang kehidupan Mai begitu sederhana dan soleha. Bisa dikatakan dirinya adalah calon menantu yang komplet. Di sela-sela pembicaraan dan topik yang asik, tiba-tiba Emak Bokir menginterogasi Mai.

“Menurut dek Mai, Bokir itu laki yang gimana sih?” tanya Emak yang mendapat bonus pelototan mata anaknya.

“Hmmm...Siapa yang kelak menjadi istri bang Bokir bakal jadi wanita paling ceria di dunia ini,” jawab Mai bijak. Mendengar jawaban itu, Emak Bokir bak mendapat durian runtuh.

“Naaahhhh, kalau gitu......”

*GLODAKKKKKK*

belum selesai Emak Bokir bicara, Bokir menjatuhkan dirinya dari kursi untuk memutus pembicaraan Emak.

“Ya ampun Kirr, ati-ati dikit napa, malu kan dilihat Mai,” tegur Emak yang menyalahkan “kecerobohan” Bokir.

Setelah beberapa jam bercanda bersama di ruang makan dan ruang keluarga, Mai harus segera pamit pulang. Emak Bokir seperti tidak ingin melepas kepergian calon menantu idamannya itu. Berkali-kali Emak Bokir selalu minta Mai sering-sering main ke rumah Bokir. Saat mengantar Mai ke luar pintu terdapat sesosok pria bertubuh tegap yang menunggu menggunakan motor.

“Terima kasih jamuannya. Semoga persahabatan kita ga akan pernah putus ya bang Bokir. Emak terima kasih banyak. Kasihan tunangan saya udah nunggu lama. Terima kasih, Wa’alaikumsalam...” tutur Mai sambil menghampiri tunangannya.

Bokir dan Emaknya tersenyum kecut sambil melambaikan tangan ke Maimunah dan tunangannya. Setelah Mai dan tunangannya pergi menjauh, Bokir saling menatap dengan Emaknya. Hening beberapa detik. Emaknya masuk ke dalam rumah diikuti oleh rengekan Bokir.

“EMAAAKKKKK, BELIIIIINNN MOTORRRRR........”

“KAGAKKKK!!”

“EMAAAKKK!!!”

“UANGNYA UDAH EMAK PAKE BUAT MAEN SAHAM!!”

“MAAAAKKKK!!!”


bersambung...

Sabtu, 01 Oktober 2011

Ketabahan Mbok Jijah (Chapter 8)

pic. by : Johansen Halim
Kantin SMA Pahlawan Bangsa adalah salah satu tempat nongkrong favorit Oddie cs. Selain di samping lapangan basket, mereka selalu menghabiskan waktu istirahat mereka di kantin, khususnya di depan kantin Mbok Jijah yang very cozy itu. Bokir yang paling doyan ngebon alias makan mie hasil utangan tiba-tiba murung beberapa hari ini.

Gimana ngga murung, Mbok Jijah tiba-tiba absen menggelar dagangan mie ayamnya. Sudah dua minggu Mbok Jijah tidak menampakkan batang hidungnya. Biasanya Mbok Jijah selalu menyambut Oddie, Septian, Ruben, Gori, dan Boir dengan cara yang unik setiap harinya:

Mbok Jijah            : Eh, nak Gori. Gantengnya ngga luntur-luntur. Ini nih, mbok tambahin ayamnya. Ada jamur Vietnamnya juga. Mbok sendiri yang ke sana, ngambilin khusus buat nak Gori.

Gori                       : Ya ya ya *belagu*, thank u thank u, ini gue bayar mbok, sekalian gantiin tiket pesawatnya *nyerahin Rp 50.000,00* Kembaliannya ambil aja. Ga biasa pegang uang warna-warni soalnya. Kata mami cuma boleh megang warna biru ama merah yang nolnya lima. Selebihnya ikhlasin.

Gimana ngga sayang ama Gori, setiap dia beli di kantin Mbok Jijah, Mbok Jijah bak menang undian rutin.

Kisah ironi muncul ketika Bokir yang mengantri untuk membeli mie ayam. Sudah berada di antrian yang paling depan, Mbok Jijah udah rada empet melayani customer setianya itu.

Mbok Jijah             : Hari ini ayamnya satu setengah sendok cukup *ketus*

Bokir                      : Yaaahh, mbok, Gori dikasih jamur Vietnam, masa gue kagak mbok?? Mana ayam ga sampe dua sendok lagi.

Mbok Jijah               : Kebangetan ente, bocah bah’lul! Utang yang kemarin-kemarin masih belum ente bayar kan? Masih untung ente kagak ane buat jadi bahan mie ayam, sini ente!! *ngejar Bokir bawa saringan mie*

Bokir                         : Mbok, mbok, insyaf mboookk.... *lari tunggang langgang*

Apalah daya, kini kekonyolan dan kekocakan Mbok Jijah tidak ditemui mereka lagi di setiap jam istirahat sekolah. Oddie dan sohib-sohibnya seperti kehilangan ibu asuh mereka. Kenikmatan mie ayam yang dipadu dengan omelan dan kecerewetan sang penjual jadi santapan mereka sehari-hari. Usut punya usut, Bokir yang memang telinganya bak wartawan investigasi mulai mendapat beberapa prediksi dan informasi dari beberapa narasumber terpercaya.

“Meskipun gue tau Mbok Jijah keliatan ga ada sayang-sayangnya ama gue, tapi gue yakin dari dalem lubuk hatinya menyimpan cinta yang besar buat gue. Buktinya sampe sekarang gue kagak diracun ama dia,” tutur Bokir yang sampai sekarang tagihan mie ayamnya setara tagihan listrik di rumahnya.

“Gue curiga, pasti ada sesuatu yang ga beres ama Mbok Jijah. Udah 15 tahun lebih mbok jualan di sini masa tiba-tiba tutup, ngga ngomong ama kita-kita lagi, memang musti diselidikin nih,” tegas Oddie yang diikuti anggukan sohib-sohibnya. Seperti biasanya, Oddie sebagai koordinator kegiatan iseng-iseng berhadiah mulai membagi job description ke sohib-sohibnya.

“Mari kita mulai,” ujar Oddie sembari melepaskan senyum licik ke para sohibnya.

***   

Selidik punya selidik, Oddie memang sedang sibuk menyelidiki absennya Mbok Jijah dari kancah perkantinan SMA Pahlawan Bangsa. Mulai dari Pak Fernando, sang kepala sekolah sampai Pak Yusron, penjaga pintu gerbang sekolah tidak luput dari interogasi Oddie. Menariknya, dua narasumber itu mengeluarkan statement yang anomali (ganjil) buat Oddie.

“Pak Fernando bilang gara-gara Mbok udah ngga betah lagi jual mie ayam, nah, Pak Yusron bilang belakangan modalnya kagak cukup,” heran Oddie waktu lagi bareng-bareng sohibnya nongkrong di tepi lapangan basket.

Di tengah-tengah percakapan yang masih penuh asas praduga tak bersalah itu, Bokir memecahnya dengan ambisi jasmaninya.

“Sob, mikirnya sambil makan gimana? Gue denger, mie ayam seberang sekolah punya Mas Otong ga kalah enak ama punya Mbok Jijah, se-ngga-ngganya mas Otong sekarang yang jadi pelipur lara gue sejak ga ada Mbok Jijah,” ajak Bokir yang sempat tidak mendapat perhatian dari sohib-sohibnya yang lagi mikir bak detektif gadungan.

“Sob, perut gue udah demo nih, nyeberang bentar nyok, kagak jauh juga kan dari sini, kalian mikir, gue maem, ya ya ya?” rengek Bokir dengan logat khas Betawinya. Nampaknya Oddie, Ruben, Gori dan Septian menaati pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Mereka berangkat ke seberang untuk mencoba mie ayam yang ramainya bukan kepalang.

“Buset, kayaknya yang jual mie ayam Otong Bieber tuh, noh liat temen-temen kita ngantrinya bukan maen,” celetuk Ruben yang melihat situasi warung mie ayam Mas Otong dari jauh. Bokir yang merasa perutnya tidak ada lagi yang bisa menolong selain mie ayam Mas Otong, langsung bergabung dengan lautan manusia SMA di warung Mas Otong.

“Semangkuk, kagak pake sayur, diganti ayamnya aja yang dibanyakin,” teriak Bokir yang mendapat sambutan ramah Mas Otong.

“Beres boss,” sahut Mas Otong. Melihat kawan-kawannya yang tidak memesan Bokir jadi empet liat sohib-sohibnya. Oddie sempat menatap cukup lama salah satu pegawai Mas Otong yang sedang sibuk meracik bumbu mie ayam di dalam mangkuk.

“Od, lu udah pindah haluan? Tamara lu tolak, sekarang lu ngincer mas-mas, yang bener aja lu?” sambar Bokir yang masih tidak mendapat hirauan dari Oddie.

“Bentar-bentar, gue kerasa aneh aja. Bukannya dia yang sering bantuin mbok Jijah ya di kantin?” heran Oddie sambil meletakkan jari telunjuknya di lubang hidung (maksudnya di pelipis kanannya).

Sohib-sohib Oddie mulai coba mengingat-ingat wajah pegawai Mbok Jijah. Lebih terkejut lagi ketika samar-samar Oddie mendengar beberapa pembeli yang membandingkan Mie Ayam Mbok Jijah dengan Mie Ayam Mas Otong. Merasa mendapatkan jawaban dari alam, Oddie langsung ikutan nimbrung di pembicaraan pembeli tersebut dan meninggalkan Ruben, Septian, Gori, dan Bokir yang lagi inget-inget pegawai mie ayam Mbok Jijah yang lama.

“Enak banget ya mienya?” timpal Oddie di tengah-tengah percakapan kedua pembeli tersebut. Meskipun tidak terlalu kenal, Oddie merasa dirinya adalah selebriti yang pasti bisa diterima oleh semua kalangan usia.

“Iya, enak banget! Racikan bumbunya sedep banget, mirip ama punya Mbok Jijah. Malah ini lebih sedeeeppp banget. Yang jual ramah juga, Mbok Jijah kan cerewet, hahaha...” ujar salah satu dari mereka. Setelah mendapat opini mereka, Oddie buru-buru narik Bokir dan yang lainnya untuk segera ke rumah Mbok Jijah hari itu juga.

“Od...Od...gue baru mau makan Od,” protes Bokir yang tidak mendapat tanggapan dari Oddie. Alhasil, Bokir utang lagi. Tidak makan, hutang pula. Sudah jatuh, tertimpa mie ayam. Oddie cs bergegas menuju rumah Mbok Jijah yang tidak terlalu jauh dari SMA Pahlawan Bangsa.

***

Di teras rumah Mbok Jijah yang asri nan hijau.....Diikuti kicauan burung di tengah teriknya sinar mentari siang hari...

“Permisiiii.... Mbookk Jijaaaah.....Ohhh....Mbok Jijah....” teriak Septian yang diikuti suara tiga milik Ruben dengan nada menyapa jamaah. Nampaknya koor tersebut tidak bersambut. Tidak ada insan yang muncul di balik teriakan Septian dan Ruben. Sapaan tersebut memang tak berbalas, namun terjawab dengan tampaknya sesosok mbok-mbok bertubuh tambun sedang membawa sekeranjang sayur mendekati mereka.

Ya, tidak lain dan tidak bukan itu adalah Mbok Jijah yang pulang dari pasar siang dekat rumahnya. Sekeranjang belanjaan mulai dari kentang, selada, taoge, mentimun, sampai belinjo doborong oleh mbok Jijah dalam satu keranjang berukuran besar tersebut.

“Lho Mbookkkk, kok jadi beli sayur-sayuran gini?” teriak Gori setelah Mbok Jijah mendekat di antara mereka. Bokir yang tidak merasa kalau masih ada hutang ama Mbok Jijah berani-berani membongkar belanjaan Mbok Jijah. Aksi kucing kelaparan itu dilakukan Bokir lantaran mie ayam yang dipesan tadi tidak jadi disantap. Melihat tingkah Bokir, Mbok Jijah cuma bisa geleng-geleng dan menjewer telinga Bokir.
“Eh, bocah bah’lul, masih berani bongkar-bongkar ente. Nyari bon utang ente?? Noh, udah ane laminating di dalem,” canda Mbok Jijah yang mengundang gelak tawa Oddie, Ruben, Gori, dan Septian. Sambil menjewer Bokir, mereka semua masuk ke ruang tamu Mbok Jijah. Bokir cuma bisa meringkih minta ampun agar jeweran Mbok Jijah segera dilepaskan.

Merasa tamunya pasti kehausan, Mbok Jijah langsung menuju dapur untuk membuatkan sedikit kudapan dan teh manis di dapur untuk Oddie cs. Suasana ruang tamu mendadak berubah menjadi serius ketika Gori mulai menginterogasi Mbok Jijah secara SLJJ (antara dapur dan ruang tamu).

“Mbok, tega banget ga mau jualan lagi di kantin sekolah? Kenapa sih mbok??” tanya Gori dengan nada penasaran tingkat dewa.

Mbok Jijah yang memang pada dasarnya tidak bisa diem, menjawab pertanyaan Gori sambil menyiapkan sajian di atas nampan dapur. Sesaat hening, namun dipecah oleh sanggahan mbok Jijah yang mengejutkan.

“Mbok ngga mau kalian sakit, makanya mbok lebih milih sementara ini ngga jualan dulu sampai semua tenang,” ujar Mbok Jijah yang tidak menampakkan wajahnya karena sedang sibuk di dapur.

Oddie dan keempat sohibnya yang sedang duduk di ruang tamu saling berpandangan tanpa mengerti maksud Mbok Jijah. Bokir yang paling penasaran dan paling banyak utang balik tanya ke Mbok Jijah.

“Jujur mbok, kami ngga tahu sebenernya kenapa sih? Kok sampe ada acara ngga mau kami sakit? Perasaan mie mbok baik-baik aja, enak banget lagi,” puji Bokir dengan harap utangnya dilunaskan melalui pujian tersebut.

“Dua minggu lalu, beberapa siswa komplain ke mbok. Ada yang marah-marah, ada yang kecewa, mbok sedih kalau inget lagi ekspresi mereka. Mereka bilang kalau mereka sakit perut gara-gara makan mie ayam Mbok,” cerita mbok Jijah yang diikuti ekspresi terkejut Oddie cs.

“Kok bisa?? Mereka kali yang makannya ga cuci tangan??” bela Ruben. Sesaat setelah mendengar pembelaan Ruben, Mbok Jijah keluar dari dapur dengan sedikit menitikkan air mata. Sesekali isakan tangis tersbut mengundang empati Oddie cs. Sambil menyuguhkan teh dan kudapannya Mbok Jijah menjelaskan kehidupannya sehari-hari setelah keluar dari kantin SMA Pahlawan bangsa.

“Lumayan, untuk nutupin biaya hidup bisa jualan gado-gado. Pak Fernando juga minta mbok segera balik. Tapi mbok masih belum siap, apalagi pegawai mbok sudah keluar,” jelas Mbok Jijah.
Bak Presiden Soekarno yang bakal membaca Proklamasi Kemerdekaan RI, Oddie berdiri gagah dan menyemangati Mbok Jijah.

“Mbok, sekarang mbok simpen sayurnya. Ini uang buat modal, mbok ke pasar sekarang, beli bahan-bahan mie ayam. Mulai besok, kami berlima yang bantu mbok jualan, dijamin kami higienis,” nasihat Oddie sambil menyambar duit 300.000 di saku dada Gori kemudian memberinya ke Mbok Jijah. Gori cuma bisa mendelik sembari dibungkam oleh Septian dan Bokir yang duduk di sebelahnya. Mbok Jijah tersenyum lega seolah-olah mendapat dorongan positif dari pelanggan setianya.

***

Sinar mentari menembus berbagai sudut SMA Pahlawan Bangsa. Tidak terkecuali kantin Mbok Jijah yang kembali disinari mentari baru. Dengan membawa tim baru, tidak mudah buat Mbok Jijah untuk mengembalikan reputasinya. Oleh sebab itu, setiap kali istirahat, Oddie cs melayani kawan-kawannya yang memesan mie ayam di kantin Mbok Jijah. Geng Cuwit-Cuwit yang melihat tingkah Oddie cs tersebut cuma bisa senyum-senyum melihat lima cowok macho itu melayani dengan style waiter Pizza Hut.

“Mau pesan apa tuan putri?” ujar Oddie sembari menggoda Luna. Ditawari oleh cowok setampan Oddie, Luna sedikit salah tingkah dan menjawab dengan gurauan.

“Emang selain mie ayam, di sini ada Yoghurt ya?” tantang Luna yang diikuti oleh cekikikan Geng Cuwit-Cuwit. Dasar Oddie yang tidak pernah mati kutu, Oddie membalas gurauan Luna.

“Tepat sekali Anda memilih dessert terlebih dahulu. Kami menyediakan berbagai jenis topping untuk Yoghurt mulai dari, Asmaralmond, Rinduberry, sampai Chococintakamu,” ujar Oddie menggoda Luna dengan mengedipkan satu mata ke Luna.

Sontak teriakan Geng Cuwit-Cuwit menarik perhatian siswa-siswi SMA Pahlawan Bangsa.  Ruben, Septian, Gori, dan Bokir ikut tertawa meramaikan suasana kantin mbok Jijah. Tanpa disadari kantin Mbok Jijah kembali ramai dikunjungi oleh pembeli. Karena melihat situasi yang sangat ramai, pembeli merasa bahwa mie ayam Mbok Jijah tidak beresiko.

Sampai pada akhirnya ketika pulang sekolah Oddie cs ikut bersih-bersih kantin Mbok Jijah, Septian menemukan sebotol bubuk pencahar untuk sakit perut di sudut bawah bagian dalam lemari mangkuk mie.

“Wah, ini nih biangnya yang bikin Mbok Jijah banting setir. Ga salah lagi, ada oknum-oknum yang perlu dikasih pelajaran nih,” tutur Septian yang mendapat respon Oddie, Ruben, Gori, dan Bokir. Melihat bubuk tersebut, Mbok Jijah terkejut bukan kepalang.

“Ya ampuuunnn, tega banget si Somad, 10 tahun ngikut ane tapi nyelakain ane. Sudah nak Septian, ngga usah diambil hati. Biar Tuhan yang memperhitungkan semuanya, mbok ngga ada hak menghakimi dia. Biar dia bahagia kerja di luar sana,” ujar Mbok Jijah yang mendapat pelukan dari Bokir, Septian, Oddie, Gori, dan Ruben.

***

Setelah 3 bulan dari insiden tersebut, kantin Mbok Jijah kembali normal. Tidak ada keluhan lagi dari pembeli, bahkan Mbok Jijah semakin berinovasi dengan macam-macam menu mie ayam. Oddie, Ruben, Bokir, Septian, Gori, dan Geng Cuwit-Cuwit jadi semakin sering bergurau dan berkumpul di depan kantin Mbok Jijah.

Warung Mas Otong yang dulu ramai disesaki pembeli kini telah tutup lantaran terbukti banyak menggunakan campuran bahan pengawet di dalam pangsit mie tersebut, mulai dari vetsin yang berlebih sampai menggunakan ayam tiren (mati kemaren). Mas Otong dan Somad terbukti banyak melakukan kejahatan melalui bahan makanan yang dijajakan di sekolah-sekolah. Kini mereka berdua hidup dalam kesusahan dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari pelanggannya.

***

“Waspadalah terhadap makanan yang kalian konsumsi. Jaga Kesehatan dan selalu tersenyum”

bersambung...