Tampilkan postingan dengan label Gori. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gori. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Oktober 2011

Bosan Jadi Raja (Chapter 13)

Beruntung kalau manusia hidup dalam kelimpahan. Tampaknya Gori bisa mengaplikasikan lirik lagu /rif di bawah ini :
Andai 'ku jadi radja, mau apa tinggal minta
Tunjuk sini tunjuk sana dengan sedikit kata
Andai 'ku jadi radja, punya uang, punya harta
Dan yang pasti aku juga akan punya kuasa

Andai aku jadi radja, 'ku diangkat dielukan
Dikelilingi bawahan dan orang-orang suruhan
Nikmatnya jadi radja, dengan menjentikkan jari
Dan lambaian tangan maka terpuaskan nafsuku

Tapi 'ku bukan radja, 'ku hanya orang biasa
Yang selalu dijadikan alas kaki para sang radja
Aku hanya bisa menahan dan melihat, membayangkan
Dan memimpikan 'tuk menjadi seorang radja

Nikmatnya jadi radja, 'kan kubangun istana
Dan 'ku dikelilingi putri yang 'kan s'lalu menggoda

 
pic. by : Johansen Halim

Kalau /rif cuma bisa berandai-andai untuk bisa menjadi Radja, tidak dengan Gori yang bisa beneran menjadi seorang Radja. Setiap hari makan tidak pernah menemui nasi kucing apalagi nasi aking. Semua fasilitas yang dinikmati Gori sudah terlalu mewah untuk ukuran orang Indonesia. Kolam renang, gym pribadi, lapangan basket dan futsal, ruang ping-pong, ruang dance, halaman taman yang luas dengan seperangkat bunga-bunga cantik, semua dimiliki Gori. Itupun masih belum termasuk garasi yang bisa dimasuki 20 mobil.

Di tengah sendunya sore yang menebarkan berbagai jenis bentuk awan, Gori menatap hamparan kekayaannya dari jendela kamarnya. Matanya kosong seperti adegan Tao Ming Tse yang sedang dimarahin ibunya, Tao Ming Feng. Sayup-sayup di benak Gori masih terekam jelas kedua orang tuanya yang mengajaknya berdiskusi di ruang keluarga.

“Gor, kekayaan yang papa punya ini bukan segalanya. Buat papa kamu segalanya. Itu sebabnya papa ngga mau kamu hidup susah nantinya, jadi papa mohon lanjutkan apa yang papa miliki sekarang biar kamu dan anak-cucu-cicitmu yang menikmatinya,” pinta papa Gori.

Sejenak Gori mengamini permintaan papanya. Tapi kalau sampai harus meninggalkan tanah air untuk beberapa waktu yang cukup lama tampaknya berat buat Gori.

Alasan Gori menitikkan air mata pada tanggal 10 Oktober kemarin memang dikarenakan permintaan papanya agar Gori melanjutkan studinya di luar negeri setelah lulus nanti, bila perlu sampai program pasca sarjana.

Ketaatan Gori pada orang tuanya yang membuat posisinya seperti berhadapan dengan buah simalakama. Dilema melanda sukma. Keinginan orang tua dan menjaga persahabatan, dua hal yang teramat berarti bagi Gori.

***

“Lho?? Lu mau ke London abis lulus ini??” tanya Ruben dengan nada tinggi.

“Bukannya lu bilang ga akan ke mana-mana Gor?” timpal Oddie sambil mengharapkan jawaban positif dari Gori.

“Papa gue mau gue dapat pendidikan terbaik untuk mengelola usahanya. Toh, ini juga untuk kebaikan gue,” jelas Gori.

Kekhusyukan topik itu rusak lantaran muncul pertanyaan Bokir. Sambil menikmati keripik kentang Mas Ucup depan gang rumahnya, Bokir bertanya dengan polosnya.

“Gor, enak ga sih jadi orang kaya? Kata orang enak tapi lu kok jadi ada siksaan batin gitu?” tanya Bokir.
Gori menatap mata Bokir seolah-olah ingin membuktikan kejujuran dari setiap kata yang meluncur dari bibir dan lidahnya.

“Kir, gue mampu beli apapun. Mulai dari rumah lu sampe rumah cucunya tetangga lu dengan uang bulanan gue. Tapi yang perlu kalian catet, limpahan uang gue ngga akan bisa ngebeli persahabatan kita, gue ngga mau pisah dengan kalian selama bertahun-tahun,” ujar Gori.

Merasa tersinggung, Bokir melempar sekeping keripik itu tepat di jidat Gori. Belum sempat Bokir, Oddie, Septian, dan Ruben membalas omongan Gori, tiba-tiba BlackBerry Gori bergetar dengan kekuatan 6,8 SR. Dia menjawab panggilan di BlackBerry tipe Dakota yang dibelinya dengan mengumpulkan uang jajan selama 2 hari itu.

“Iya, Iya pa, Gori mau jalan pulang, tunggu bentar ya pa,” sahut Gori di telepon yang tampak kalau dia sedang bicara dengan papanya.
Setelah menutup pembicaraan dengan papanya, Gori buru-buru mengemasi barang-barangnya yang tergeletak di tepi lapangan basket.

“Buru-buru banget lu, disuruh apaan ama bokap?” tanya Septian penasaran.

“Bokap udah manggil guru native private ke rumah gue. Itung-itung kayak sekolah bahasa, jadi begitu lulus gue ngga kagok lagi ngomong bahasa asing. Sekarang gurunya udah nunggu di rumah gue. Oke, balik dulu ya guys,” pamit Gori dengan melambaikan tangan dan melemparkan senyum manis pada emapat sohibnya.

Dengan berlari kecil, Gori menuju mobilnya yang diparkir di depan gerbang sekolah. Oddie, Ruben, Bokir, dan Septian cuma bisa melihat kawannya itu bergegas menuruti perintah orang tuanya. Sebenarnya tampak wajah sedih yang disembunyikan oleh Gori tetapi tidak disinggung oleh sohibnya.

“Od, lu ga ada ide lagi?” tanya Bokir sambil menatapi kepergian Gori.

“Gue sama sekali ga berhak ikut campur kalo udah urusan beginian. Kita doain Gori aja biar dia bisa dapet  yang terbaik,” ujar Oddie bijak.

“Amiiiinnnn.....” sahut Bokir, Ruben, dan Septian dengan serentak.

***

Sambil menemani si Mami membuat adonan kue, Oddie di ruang keluarga barengan Mimi nonton tayangan infotainment favorit mami. Sesekali Mimi mencuri lihat apakah maminya masih menonton atau sedang berkonsentrasi membuat kue. Kalau-kalau maminya lengah sedikit, Mimi langsung memindahkan channelnya ke serial Korea favoritnya. Maklum, beberapa hari ini Mimi ketagihan banget nonton serial Korea yang dimainkan pria-pria berkulit tahu itu.

Oddie cuma ikut-ikutan meramaikan ruang tamu sambil mengutak-atik BlackBerry barunya. Matanya tertahan ketika membaca status Gori yang bertuliskan : Bosan Jadi Raja. Bagaikan gayung bersambut, dalam situasi yang bersamaan muncul pula iklan acara di televisi yang bertajuk Bosan Jadi Pegawai. Sebuah kontradiksi yang menarik buat Oddie. Pegawai ingin jadi Raja, Raja ingin jadi pegawai. Seberapa lelahnya Gori hingga dirinya enggan untuk menikmati kekuasaan layaknya lagu milik /rif? Dari status yang dimunculkan oleh Gori itu, tentu mengundang simpati dan empati Oddie. Percakapan melalui BlackBerry Messenger dibuka Oddie dengan basa-basi :

Oddie    : “Gor, hari ini koki rumah lu masak apaan?”
Gori       : “Hari ini sih masak sayur-sayuran. Soalnya keluarga gue lagi diet. Jadi banyak sayurnya.”
Oddie    : “Wow, enak banget tuh, gue juga suka banget sayur, boleh ya gue ke rumah lu?”

*terdengar teriakan mami Oddie di dapur sambil membuat adonan : “Oddie, cepet dimakan sayurnya, jangan suka pilih-pilih makanan!!! Masa cuma gorengannya aja yang dimakan??!!”

Gori       : “Oh, boleh dong, lu makan di sini aja ya, gue tunggu lu sekarang”
Oddie    : “Siipp, gue abisin makanan lu, hahahaha.... c u there brother”

“Hihihihi...Toh, meskipun banyak sayur, lauk di rumah Gori pasti banyak. Ayam Goreng, Gurami Goreng, pasti banyak macemnya,” pikir Oddie penuh kepicikan.

Setelah mengakhiri chat dengan Gori, Oddie bergegas meraih jaket, helm dan kunci motornya. Sempat berhenti beberapa detik karena melihat sebuah album yang tergeletak di atas meja belajar, Oddie memutuskan untuk meraih album itu dan membawa ke rumah Gori.

***

Meskipun sudah sering ke rumah Gori, selama perjalanan dari pagar depan hingga masuk ke ruang tamu Gori, Oddie tidak pernah berhenti berdecak kagum. Seperti orang udik yang baru masuk kota, sambil menenteng album Oddie berulang kali komat-kamit baca mantera agar kelak memiliki materi yang terhampar di rumah Gori ini.

Sampai di ruang tamu yang dihiasi oleh foto keluarga besar dan masa kecil Gori, Oddie disambut Gori bagaikan saudara kandungnya dari Kazhakstan. Maklum, Gori adalah anak tunggal di keluarganya, jadi sering kesepian meskipun banyak fasilitas yang dimilikinya. Melihat kehadiran Oddie, Gori sangat terhibur.

“Gue heran Gor, apa yang ngebuat lu jadi bosen?” tanya Oddie sambil berjalan menuju area kolam renang pribadi Gori.

“Sebenernya banyak hal yang ngebikin hidup gue monoton Od. Kadang gue ngerasa kekayaan ini seperti nyiksa gue. Lu belum pernah kan ngerasain les privat hampir setiap hari, bantuin bisnis papa yang ribet, dijodoh-jodohin ama anak-anaknya temen papa, ironisnya lagi gue jarang kumpul bareng keluarga gue,” cerita Gori panjang lebar.

Oddie hanya manggut-manggut sambil mengernyitkan dahi mirip Tiffatul Sembiring yang lagi mikir mecahin masalah “provider-provider nakal” di Indonesia. Tidak ingin menghambat aliran curhat Gori, Oddie diam seolah-olah mengisyaratkan Gori untuk bercerita lebih lagi.

“Selama ada lu Od, Bokir, Ruben, dan Septian, gue jadi ngerasa kalau lu pada bukan sekedar sahabat, tapi udah jadi saudara gue. Itu yang kadang jadi pikiran gue saat ini. Waktu gue menemukan kebahagiaan di dalam kalian, kebahagiaan itu harus siap-siap pergi lagi karena gue harus memenuhi keinginan orang tua gue,” keluh Gori.

Melihat Oddie yang sedari tadi menenteng sebuah album berukuran A4, Gori jadi penasaran dan langsung menyambar album itu. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, Gori membalikkan halaman depan dan mulai menjelajahi isi album itu. Gori terkejut melihat foto-foto Oddie yang terlihat akrab dengan maminya, adiknya, Mr.Robert, Bokir, Ruben, Septian, dan Gori sendiri.

Sesekali Gori tertawa lepas saat melihat foto Bokir yang sedang dikejar anjing Pitbull milik Mathilda, anggota Geng Cuwit-Cuwit. Dibaliknya lagi, muncul pemandangan foto mereka berlima yang sedang berpelukan di camp persahabatan. Sempat terdiam dan senyum kecil tersungging di bibir Gori. Dibaliknya halaman berikut, tampak foto Mimi yang digendong Mr.Robert dan Oddie yang sedang menggendong maminya. Bukan ikut melihat album itu, Oddie justru malah melihat ekspresi wajah sohibnya itu.

“Seru banget ya pengalaman-pengalaman kita. Tapi keluarga juga berarti banget buat gue. Sebenerya hidup kita sama kok kayak album ini, ngga cuma diisi foto persahabatan kita. Ada keluarga, ada temen-temen yang lain. Mungkin kelak ada foto pacar gue,” canda Oddie dengan menaikkan alisnya yang tebal itu.

Gori tidak menatap mata Oddie. Tangannnya sibuk membolak-balikkan tiap lembar dalam album berwarna merah maroon itu. Sesekali matanya melirik ke arah Oddie yang masih melanjutkan dakwahnya.

“Yang jelas, letakkan mereka masing-masing di posisi yang tepat. Saat ini lu coba fokus ke kehidupan keluarga lu. Gue liat papa mama lu sayang banget ama lu. Coba lu liat semua fasilitas yang lu miliki di rumah ini. Bukannya itu bukti cinta mereka sama lu Gor?” tanya Oddie yang tidak mengharapkan jawaban Gori.

“Untuk saat ini gue pengen banget memilih jalan gue sendiri. Kita kan udah bukan anak kecil lagi Od,” kata Gori membela diri sambil menatap foto keluarga Oddie yang sedang merayakan ulang tahun Oddie ke 17.

Oddie berdiri dan mendekatkan tubuhnya ke kolam renang milik Gori. Setelah melipat bagian bawah celana panjangnya sampai berhenti di lututnya, Oddie melanjutkan nasihatnya sembari membenamkan kakinya ke dalam kolam.

“Ouww...Bener banget. Gue setuju ama opini lu Gor kalau kita bukan anak kecil lagi. Nah, karena kita udah bukan anak kecil lagi, sekarang kita kudu belajar menatap masa depan yang leeeebih jauh lagi. Itu namanya visi. Jangan takut persahabatan kita putus. Justru tanggal 10 Oktober itu jadi alarm buat kita untuk terus saling mengingat persahabatan kita,” ujar Oddie sambil menatap langit sore yang cerah itu.

Mendengar ucapan Oddie, entah hati Gori seperti cerah kembali seperti langit saat itu. Rona muka yang terpancar di wajah Gori berbeda sebelum Oddie mengutarakan hal itu. Gori menutup album milik Oddie dan meletakkan di atas kursi pantai yang berdiri gagah di samping kolam renang. Perlahan-lahan Gori mengikuti tingkah Oddie yang melakukan ritual sebelum mencelupkan kedua kakinya di dalam kolam. Dia mendekati Oddie dan mengutarakan responnya dari ucapan Oddie.

“Yep. Setiap perkataan lu ngga akan gue lupain Od. Kalau memang jalan hidup gue seperti ini gue harus syukuri. Thank u so much Od. You’re my best friend forever,” tutur Gori sambil melemparkan senyumnya pada Oddie.

“Udah kayak Paris Hilton-Nicole Richie aja kita pake istilah BFF, hahaha...” canda Oddie menutup percakapan mereka.

Sambil mereka bercanda dan bermain-main air, tidak Oddie sadari seluruh pembantu Gori sudah memersiapkan hidangan makan malam yang penuh dengan aneka sayur mayur untuk Oddie dan Gori. Sampai tiba waktunya Oddie akan menikmati hidangan makan malam, Oddie terjejut karena hidangan di meja makan Gori semuanya bernuansa Ever Green. Gori melarang Oddie pulang sebelum makan hidangan yang disediakan.

“GUA GA MAO SAYUR SEMUA!! BUSET!! PARE, JENGKOL, SAWI, TERONG, lu ngerjain gue Gor??” teriak Oddie ditambah pelototannya di meja makan sambil ditarik Gori agar tidak beranjak.

“Lho kan lu yang bilang bakal abisin semua. Lu kudu ngehargain hidangan raja!” paksa Gori sambil tetap menarik Oddie.

“Buset, gue ga nyangka lu raja hutan. Lepasin gue Gor!! Lepasiiiiiinnn... Gue ngga mau makan Jengkoooolll, Pareeee....Huhuhuhu... Terrrooonngggg, eh, Tolooooongggg....” rengek Oddie.

bersambung...

Kamis, 13 Oktober 2011

10 Oktober (Chapter 12)

pic. by : Johansen Halim
Peninggalan Mr.Robert untuk Oddie dan Mimi sebelum kembali ke Inggris benar-benar menakjubkan. Begitu menerima BlackBerry, Oddie dan Mimi jadi makin sibuk dengan mainan barunya itu. Bahkan, Oddie yang biasanya ngga terlalu ngikutin arus informasi di luar kini jadi orang paling update di SMA Pahlawan Bangsa. Mulai berita Steve Job sampai Ayu Ting-Ting Oddie paham.

 Siang itu saat pulang sekolah, Oddie, Ruben, Bokir, Gori, dan Septian nongkrong lagi di tepi lapangan basket sekolah. Cuma sekarang sedikit berbeda, biasanya Oddie selalu balapan ngomong dengan Bokir, kini Bokir menang telak. Oddie cuma ikutan senyum tawar waktu Bokir menceritakan kisah kucingnya yang ekornya kesangkut di antena rumahnya.

“Emm...emang tadi gue cerita apaan Od kok lu ikutan ketiwi gitu?” sindir Bokir yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Oddie.

“Ya itu, kucing lu kan?” sahut Oddie masih sibuk dengan BlackBerrynya.

“Kenapa kucingnya Bokir?” tanya Septian dengan nada pura-pura tidak tahu.

“Eeeeee...Kena antraks kali,” jawab Oddie sambil mesem-mesem merasa bersalah karena ngga menyimak cerita Bokir.

“BlackBerry lu tuh kena panu. Taruh bentar napa Od, lagi asik kumpul masa lu cuma nimbrung mesem. Gori aja ga begitu-begitu banget ama BlackBerrynya,” sanggah Bokir yang kemudian dipatuhin Oddie.

Bokir, Septian dan Ruben jadi sedikit jengah dengan kebiasaan baru Oddie. Tidak hanya kejadian tadi yang membuat sohib-sohib Oddie kesal. Oddie hampir tidak bisa lepas dari BlackBerry barunya itu. Alasan Oddie selalu mengatakan sedang kontak dengan Mr.Robert. Bisa dibilang sejak memegang BlackBerry barunya itu sense of humor Oddie jadi berkurang. Malah lebih mirip pusat info. Di mana-mana update info, update status.

Sebelumnya memang Gori sudah mengatakan pada Oddie kalau BlackBerry bisa jadi ancaman kalau tidak digunakan dengan bijak. Ancaman malas belajar, malas berinteraksi dengan orang, sampai malas makan lantaran uang jajannya dipakai buat beli pulsa.

Satu yang pasti, sejak kehadiran BlackBerry di tangan Oddie, ketiga sahabatnya yang cuma memakai handphone ala kadarnya itu seperti tidak lagi menjadi perhatian Oddie. Sampai akhirnya Bokir, Ruben, Septian memutuskan untuk tidak menghiraukan Oddie sampai benar-benar sadar. Gori yang punya BlackBerry ditugaskan untuk menjadi pelarian Oddie karena jangan sampai Oddie minum Baygon setelah “ditinggal” ketiga sohibnya itu.

“Pokoknya kalau sampai dia masih kagak hirauin kita, kebangetan itu Oddie ama BlackBerry,” seloroh Bokir mendapat persetujuan dari Ruben, Gori, dan Septian.

***

Ternyata memang benar apa yang diucapkan Bokir, Oddie bahkan jadi lebih lemot dari BlackBerrynya kalau diajak ngomong. Kalau sohibnya ngga sampai mengulangi omongannya dua kali rasanya belum cukup buat Oddie. Sampai akhirnya rencana itu dijalankan, Bokir, Septian, dan Ruben mencari celah untuk mengambil kesempatan “ngambek”nya.

Pulang sekolah waktunya untuk berkumpul di tepi lapangan basket, Bokir membahas topik yang seru. Kali ini tentang masa kecil Bokir yang pernah ikut lomba minum air putih sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan kotak pensil Hello Kitty. Oddie seperti biasa, sibuk dengan dunianya. Sontak, keempat sohibnya dari yang heboh ha ha hi hi mendadak diam dan tidak ada yang berbicara.

“Kir, Kir, tadi lu cerita apa? Kok mendadak silent? Menangin kotak pensil kero-kero pi ya?” tanya Oddie sambil masih mencat-mencet BlackBerrynya.

“Tauk ah, tanya aja ama san-san wa-wa, pulang yuk, kayaknya udah pada punya kesibukan sendiri-sendiri kan?” ujar Bokir yang kemudian beranjak dari tempat duduknya.

Bokir, Septian, Ruben dan Gori tanpa pamit tanpa permisi langsung mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan Oddie.

“Lho Kir, Sep, Ben, Gor, pada ke mana? Sorry, ikutan dong,” teriak Oddie dengan berlari ke arah keempat sohibnya itu.

Bingung juga si Oddie karena keempat sohibnya berpencar ke tempat masing-masing. Mau ikutan juga tinggal pilih mau ikut siapa. Oddie dibuat bingung. Mau ngikutin Bokir ke rumahnya, ato Gori ke gym, Septian ke tempat latihan ngeband, atau Ruben ke sasana pelatihan teater.

Yang jelas saat itu Oddie jadi merasa bersalah karena tidak menghiraukan sohib-sohibnya. Keempat sohibnya tidak pernah bertindak seperti itu sebelumnya. Nasi sudah menjadi bubur sum-sum. Oddie harus berbuat sesuatu supaya Bokir, Gori, Septian, dan Ruben tidak kesel lagi dengan tabiat baru Oddie itu.

***

Panorama Wajah, Sasana Pelatihan Teather, pk 14.00 WIB

Bangunan itu tidak terlalu besar. Mungkin lebarnya hanya berkisar 5 meter. Cat temboknya tampak sedikit mengelupas dengan atap yang sudah mulai menghitam karena digilir hujan dan panas. Hanya sedikit sedap dipandang saat mulai masuk ke pekarangannya karena banyak ditemui bunga-bunga yang indah. Meskipun terlihat kuno, bangunan itu tampak kokoh.

Oddie mulai menyusuri halaman pekarangan itu dan akhirnya sampai di bibir pintu. Suara Ruben terdengar jelas meskipun Oddie belum masuk ke dalam aula teather milik ayahnya itu. Dialog Ruben yang melankolis dan mendayu-dayu itu membuat Oddie tidak enak untuk langsung masuk ke dalam. Hanya separuh kepala Oddie yang berani untuk melihat situasi di dalam. Begitu takjub Oddie melihat kawannya yang satu itu, berdialog dengan 9 orang siswa, seolah-olah dia adalah sutradaranya.

Setelah beberapa saat melongokkan kepalanya, Oddie perlahan-lahan mulai masuk dan menempati salah satu bangku penonton teather paling belakang. Menunggu Ruben cukup lama, sesekali Oddie ingin banget keluarin BlackBerry dari kantongnya. Sontak, dia teringat kejadian tadi dan memasukkan kembali BlackBerrynya.
Saat mulai rehat, Oddie beranjak dari kursi dan melambaikan tangan ke arah Ruben. Ruben menghampiri dengan menenteng sebuah naskah yang lebih tebal dari modul bimbingan belajar matematika mereka. Entah kenapa, Oddie jadi salah tingkah dengan sahabatnya itu. Mungkin karena kesalahannya itu. Dengan sedikit tergagap, Oddie basa-basi.

“Hai Ben, hehehe. Keren tadi. Lu ngga coba casting Harry Potter 8? Hehehe,” canda Oddie berusaha mencairkan suasana.

“Udah tau salah lu di mana?” ujar Ruben dengan nada yang cukup ketus.

“Iya, gue tau. Maapin ya. Gue ga maksud cuekin kalian. Maap ye ben. Gue emang salah. Punya barang baru bagusan dikit udah cuekin kalian,” ujar Oddie pasrah.

Dalam benak Oddie, Ruben adalah orang paling sabar yang pernah dia temui. Jarang sekali Ruben mengutarakan kekesalannya. Tetapi hari itu Ruben seperti tidak mendengar omongan Oddie. Justru Ruben kembali ke arah panggung dan memanggil seluruh kawannya untuk berlatih kembali.

“Guys, kumpul yuk! Sekarang kita mulai dari scene.........”

Suara Ruben terdengar sayup-sayup di telinga Oddie. Dia tidak habis pikir bahwa Ruben akan bersikap seperti itu. Ingin rasanya Oddie update status dengan emote sedih, nangis, guling-guling, tapi Oddie ingat bagaimana BlackBerry itu membuat dia dan sohibnya menjadi renggang. BlackBerry itu disakukan lagi.
Oddie berjalan layu bak game Plant VS Zombie menjauhi kursi penonton dan mulai mendekati entrance gedung teather. Ingin rasanya dia memakan otaknya sendiri yang tidak berpikir jernih sebelumnya.

“Mungkin Septian bisa nenangin gue, moga-moga dia ngga ikutan marah,” gumam Oddie dalam hati sambil menyalakan motornya.

***

Studio Melodika, pk 15.30 WIB

“Buset, lagu apa ini?? Studio Band ato depan gedung DPR nih, berisik banget,” gumam Oddie saat mulai memasuki ruang depan studio yang disewa Septian dan teman-teman bandnya.

Bayangkan, belum masuk ke studio rekaman, dari luar Oddie sudah bisa mendengar gebukan drum, petikan gitar, betotan bass, pencetan keyboard, dan teriakan suara vokalisnya, yaitu Septian sendiri. Lagu rock yang sedang dilatih oleh Septian dan bandnya adalah lagu yang akan dipakai mereka untuk lomba band indie tingkat Nasional.

“Gila, kalo nyanyinya model gitu, mungkin ga ya Septian bisa nenangin gue?” gumam Oddie sambil ngedengerin Septian nyanyi bagian bridge lagu Linkin Park, Numb.

Pelan-pelan Oddie mulai masuk ke jalan menuju studio yang berhadapan dengan ruangan mirip aquarium raksasa. Kontan Septian yang berada di dalam kaget melihat Oddie yang tiba-tiba muncul dari luar. Jelas terlihat dari kaca bening raksasa itu. Entah sengaja atau improvisasi, teriakan Septian jadi makin nge-grunk dan powerfull setelah melihat kehadiran Oddie.

Setelah tenggorokan Septian benar-benar Numb, Septian menyambut Oddie dengan suara parau tanpa mengeluarkan seluruh tubuhnya di luar studio.

“Ngapain ke sini? Lu mau main sasando?” tutur Septian ketus.

“Tadi gue dari tempat Ruben. Sekarang gue bole ganggu lu bentar kan? Hehehe..  Sep, sorry ya belakangan ini gue jadi jauh dari kalian, lu masih mau kan sohiban ama gue? Gue tau kok salah gue di mana,” tanya Oddie polos.

“Gitu doang? Gue kira lu nawarin kontrak rekaman buat Band gue. Gue latihan dulu ya,” jawab Septian dengan nada santai dan kembali memegang gitarnya.
Oddie benar-benar pengen masuk ke studio itu dan berteriak sekencang-kencangnya. Ternyata Septian juga berpikiran sama kalau Oddie sudah berubah sejak BlackBerry itu menghampiri kehidupan Oddie.

Sesekali Oddie pengen lihat BlackBerrynya, tetapi jadi tidak bersemangat karena teringat teman-temannya yang perlahan-lahan mulai tereksodus. Berjalan dengan gontai keluar dari Studio Melodika, akhirnya Oddie melanjutkan ke rumah sohib utamanya, Bokir. Mungkin Bokir bisa berpikir lebih jernih.

***

Rumah Bokir, Gang Senggol, pk 16.45 WIB

Sudah seperti rumah sendiri, Oddie tanpa malu langsung masuk menuju ruangan Bokir. Tepat berada di depan pintu kamar Bokir, Oddie mengetuk sambil memanggil dengan mesra.

“Bokir Di Caprio, boleh masuk ngga?” panggil Oddie sambil mengetuk pintu dengan seirama.

Tidak mendengar jawaban setelah beberapa saat, Oddie memilih untuk duduk di ruang tamu Bokir. Oddie mengira bahwa Bokir di dalam lagi ngambek dan ngga mau membukakan pintunya buat Oddie. Hampir setengah jam lebih Oddie menunggu Bokir keluar dari kamarnya, sampai beberapa kali Oddie mengetuk pintu Bokir dan berceloteh merayu.

“Kir, maafin gue. Gue janji ga bakal ngacuhin kalian lagi. Gue tau BlackBerry bisa mengalihkan perhatian gue dan bikin pertemanan kita jadi ngga asik. Dengan kondisi sekarang gue sadar kalau BlackBerry itu bukan segalanya buat gue. Persahabtan kita yang terpenting di hidup gue. Jadi tolong Kir maafin gue. Kirr, lu ngambek apa tidur sih Kir? Masa kudu gue dobrak kayak di pilem-pilem??” oceh Oddie yang sudah mulai tidak sabar itu.

Hanya berselang beberapa detik, Emak Bokir muncul dari kamarnya dan terkejut dengan kehadiran Oddie.

“Ya ampun nak Oddie, Bokirnya lagi ngga ada di rumah. Lagi keluar ama dek Gori, katanya sih mau diajakin main bilyard di rumah nak Gori, tumben kagak ikut?” ujar Emak Bokir.

“Ooo...gitu ya mak. Udah dari tadi ya mak? Ya udah, makasih ya mak. Oddie pamit dulu,” ujar Oddie dengan lemas sambil ngacir dari tempatnya berdiri.

Sekali lagi, Oddie berjalan tanpa semangat. Semua sohibnya menghindari dia, hanya tinggal Gori yang belum dikunjunginya. Tetapi melihat reaksi ketiga temannya itu, Oddie jadi optimis kalau tindakan Gori kurang lebih akan sama dengan ketiga sohibnya itu.

Karena hari sudah mulai menjelang petang, Oddie kembali ke rumahnya dengan menggunakan motor butut kesayangannya itu. Tanpa terasa bahwa seharian itu Oddie tidak memegang BlackBerrynya. Tidak tahu apa isi pesan yang tertinggal selama dia menghampiri sohib-sohibnya.

Setelah Oddie menyalakan mesin dan mulai menjauhi rumah Bokir, sesosok bibir tebal dan pipi tembem muncul dari dalam jendela kamar Bokir. Ya, sang empunya bagian tubuh itu adalah Bokir yang sedari tadi berada di dalam kamar itu.

***

Oddie tiba di rumahnya dan tanpa berhenti di meja makan dia langsung masuk ke kamarnya. Tanpa mengganti seragam dan melepas atributnya, Oddie merebahkan tubuhnya. Lampu merah berkedip di sudut kanan atas BlackBerry Oddie. Dengan sedikit lunglai Oddie membuka pesan yang masuk di BlackBerry Messengernya. Berkirim pesan dengan Mr.Robert tampak sedikit melegakan Oddie.

Entah Mr.Robert itu ternyata lulusan Cenayang University atau Ki joko Bodo International College, tiba-tiba di akhir chatting, Mr.Robert memberikan pesan sesuai dengan apa yang dialami Oddie sekarang.

Mr.Robert

Oddie, aku mau kamu jangan terlalu sering bermain BlackBerry. Ingat belajar, ingat mami, ingat Mimi, dan ingat sahabat-sahabat kamu. Don’t waste your time with your own world, especially with your BlackBerry. Okay? God Bless You.  

Oddie
Yes, Sir! I promise :)

Singkat, padat, namun pesan itu seperti teguran keras bagi Oddie. Setelah itu Oddie memutuskan untuk beranjak dari kamarnya dan segera menyusul ke rumah Gori untuk menemui Bokir dan Gori.

***

Rumah Gori, pk 19.00 WIB

Rumah Gori tidak terlalu ramai seperti biasanya. Namun, ada sesuatu yang berbeda ketika Oddie mulai masuk ke dalam rumah Gori. Banyak makanan yang tersedia di meja makan Gori. Oddie jadi salah tingkah karena takut di rumah Gori akan ada acara. Oddie menunggu di ruang tamu dan mencoba untuk menghubungi Gori. Meskipun telah dibaca isi pesan Oddie, tetapi tidak ada balasan sedikitpun dari Gori.

Tiba-tiba keempat sohib Oddie muncul dengan menuruni tangga berbentuk spiral milik Gori. Mereka berempat tertawa bersama dan menghampiri Oddie. Dengan membawa 5 gelas berisi Cola, mereka menyeret Oddie ke meja makan dan berkumpul di meja makan.

“Perlu kita ingat dan kita rayakan. Hari ini kita tetapkan sebagai hari resminya persahabatan kita untuk selama-lamanya,” ujar Septian.

“Kelak sampai kita berpisah untuk mengejar cita-cita kita masing-masing, kita tidak akan melupakan hari ini, tanggal 10 Oktober adalah hari persahabatan kita,” imbuh Ruben.

“Sorry ya Od, kami ga bermaksud ngejebak lu. Jujur kami sempet kecewa dengan sikap lu sejak punya BlackBerry. Tapi lu sportif dan kami bangga punya sahabat kayak lu,” tutur Bokir.

“Terlepas dari kasus BlackBerry ini, gue juga minta maaf buat kesalahan yang mungkin pernah gue buat ke kalian. Kalian yang terbaik dan gue janji akan selalu ngejaga persahabatan ini,” ujar Oddie sambil merangkul bahu Bokir dan Ruben.

Mereka tertawa bersama. Bergembira dan bercanda seperti biasanya sambil menyantap hidangan yang disediakan Gori. Dengan diiringi permainan gitar Septian, mereka menyanyikan bersama lagu "Ingatlah Hari Ini" milik Project Pop di kolam renang milik Gori. Namun, di balik tawa mereka, Gori seperti menyembunyikan sesuatu. Tidak sadar ada air mata yang keluar dari mata Gori di tengah-tengah canda tawa para sahabatnya.
 
bersambung...

PS : Cerita ini didedikasikan untuk semua pengguna BlackBerry, termasuk saya sendiri untuk lebih mawas diri dengan membangun komunikasi interpersonal yang lebih baik antar sesama manusia ^^