Selasa, 18 Oktober 2011

Bosan Jadi Raja (Chapter 13)

Beruntung kalau manusia hidup dalam kelimpahan. Tampaknya Gori bisa mengaplikasikan lirik lagu /rif di bawah ini :
Andai 'ku jadi radja, mau apa tinggal minta
Tunjuk sini tunjuk sana dengan sedikit kata
Andai 'ku jadi radja, punya uang, punya harta
Dan yang pasti aku juga akan punya kuasa

Andai aku jadi radja, 'ku diangkat dielukan
Dikelilingi bawahan dan orang-orang suruhan
Nikmatnya jadi radja, dengan menjentikkan jari
Dan lambaian tangan maka terpuaskan nafsuku

Tapi 'ku bukan radja, 'ku hanya orang biasa
Yang selalu dijadikan alas kaki para sang radja
Aku hanya bisa menahan dan melihat, membayangkan
Dan memimpikan 'tuk menjadi seorang radja

Nikmatnya jadi radja, 'kan kubangun istana
Dan 'ku dikelilingi putri yang 'kan s'lalu menggoda

 
pic. by : Johansen Halim

Kalau /rif cuma bisa berandai-andai untuk bisa menjadi Radja, tidak dengan Gori yang bisa beneran menjadi seorang Radja. Setiap hari makan tidak pernah menemui nasi kucing apalagi nasi aking. Semua fasilitas yang dinikmati Gori sudah terlalu mewah untuk ukuran orang Indonesia. Kolam renang, gym pribadi, lapangan basket dan futsal, ruang ping-pong, ruang dance, halaman taman yang luas dengan seperangkat bunga-bunga cantik, semua dimiliki Gori. Itupun masih belum termasuk garasi yang bisa dimasuki 20 mobil.

Di tengah sendunya sore yang menebarkan berbagai jenis bentuk awan, Gori menatap hamparan kekayaannya dari jendela kamarnya. Matanya kosong seperti adegan Tao Ming Tse yang sedang dimarahin ibunya, Tao Ming Feng. Sayup-sayup di benak Gori masih terekam jelas kedua orang tuanya yang mengajaknya berdiskusi di ruang keluarga.

“Gor, kekayaan yang papa punya ini bukan segalanya. Buat papa kamu segalanya. Itu sebabnya papa ngga mau kamu hidup susah nantinya, jadi papa mohon lanjutkan apa yang papa miliki sekarang biar kamu dan anak-cucu-cicitmu yang menikmatinya,” pinta papa Gori.

Sejenak Gori mengamini permintaan papanya. Tapi kalau sampai harus meninggalkan tanah air untuk beberapa waktu yang cukup lama tampaknya berat buat Gori.

Alasan Gori menitikkan air mata pada tanggal 10 Oktober kemarin memang dikarenakan permintaan papanya agar Gori melanjutkan studinya di luar negeri setelah lulus nanti, bila perlu sampai program pasca sarjana.

Ketaatan Gori pada orang tuanya yang membuat posisinya seperti berhadapan dengan buah simalakama. Dilema melanda sukma. Keinginan orang tua dan menjaga persahabatan, dua hal yang teramat berarti bagi Gori.

***

“Lho?? Lu mau ke London abis lulus ini??” tanya Ruben dengan nada tinggi.

“Bukannya lu bilang ga akan ke mana-mana Gor?” timpal Oddie sambil mengharapkan jawaban positif dari Gori.

“Papa gue mau gue dapat pendidikan terbaik untuk mengelola usahanya. Toh, ini juga untuk kebaikan gue,” jelas Gori.

Kekhusyukan topik itu rusak lantaran muncul pertanyaan Bokir. Sambil menikmati keripik kentang Mas Ucup depan gang rumahnya, Bokir bertanya dengan polosnya.

“Gor, enak ga sih jadi orang kaya? Kata orang enak tapi lu kok jadi ada siksaan batin gitu?” tanya Bokir.
Gori menatap mata Bokir seolah-olah ingin membuktikan kejujuran dari setiap kata yang meluncur dari bibir dan lidahnya.

“Kir, gue mampu beli apapun. Mulai dari rumah lu sampe rumah cucunya tetangga lu dengan uang bulanan gue. Tapi yang perlu kalian catet, limpahan uang gue ngga akan bisa ngebeli persahabatan kita, gue ngga mau pisah dengan kalian selama bertahun-tahun,” ujar Gori.

Merasa tersinggung, Bokir melempar sekeping keripik itu tepat di jidat Gori. Belum sempat Bokir, Oddie, Septian, dan Ruben membalas omongan Gori, tiba-tiba BlackBerry Gori bergetar dengan kekuatan 6,8 SR. Dia menjawab panggilan di BlackBerry tipe Dakota yang dibelinya dengan mengumpulkan uang jajan selama 2 hari itu.

“Iya, Iya pa, Gori mau jalan pulang, tunggu bentar ya pa,” sahut Gori di telepon yang tampak kalau dia sedang bicara dengan papanya.
Setelah menutup pembicaraan dengan papanya, Gori buru-buru mengemasi barang-barangnya yang tergeletak di tepi lapangan basket.

“Buru-buru banget lu, disuruh apaan ama bokap?” tanya Septian penasaran.

“Bokap udah manggil guru native private ke rumah gue. Itung-itung kayak sekolah bahasa, jadi begitu lulus gue ngga kagok lagi ngomong bahasa asing. Sekarang gurunya udah nunggu di rumah gue. Oke, balik dulu ya guys,” pamit Gori dengan melambaikan tangan dan melemparkan senyum manis pada emapat sohibnya.

Dengan berlari kecil, Gori menuju mobilnya yang diparkir di depan gerbang sekolah. Oddie, Ruben, Bokir, dan Septian cuma bisa melihat kawannya itu bergegas menuruti perintah orang tuanya. Sebenarnya tampak wajah sedih yang disembunyikan oleh Gori tetapi tidak disinggung oleh sohibnya.

“Od, lu ga ada ide lagi?” tanya Bokir sambil menatapi kepergian Gori.

“Gue sama sekali ga berhak ikut campur kalo udah urusan beginian. Kita doain Gori aja biar dia bisa dapet  yang terbaik,” ujar Oddie bijak.

“Amiiiinnnn.....” sahut Bokir, Ruben, dan Septian dengan serentak.

***

Sambil menemani si Mami membuat adonan kue, Oddie di ruang keluarga barengan Mimi nonton tayangan infotainment favorit mami. Sesekali Mimi mencuri lihat apakah maminya masih menonton atau sedang berkonsentrasi membuat kue. Kalau-kalau maminya lengah sedikit, Mimi langsung memindahkan channelnya ke serial Korea favoritnya. Maklum, beberapa hari ini Mimi ketagihan banget nonton serial Korea yang dimainkan pria-pria berkulit tahu itu.

Oddie cuma ikut-ikutan meramaikan ruang tamu sambil mengutak-atik BlackBerry barunya. Matanya tertahan ketika membaca status Gori yang bertuliskan : Bosan Jadi Raja. Bagaikan gayung bersambut, dalam situasi yang bersamaan muncul pula iklan acara di televisi yang bertajuk Bosan Jadi Pegawai. Sebuah kontradiksi yang menarik buat Oddie. Pegawai ingin jadi Raja, Raja ingin jadi pegawai. Seberapa lelahnya Gori hingga dirinya enggan untuk menikmati kekuasaan layaknya lagu milik /rif? Dari status yang dimunculkan oleh Gori itu, tentu mengundang simpati dan empati Oddie. Percakapan melalui BlackBerry Messenger dibuka Oddie dengan basa-basi :

Oddie    : “Gor, hari ini koki rumah lu masak apaan?”
Gori       : “Hari ini sih masak sayur-sayuran. Soalnya keluarga gue lagi diet. Jadi banyak sayurnya.”
Oddie    : “Wow, enak banget tuh, gue juga suka banget sayur, boleh ya gue ke rumah lu?”

*terdengar teriakan mami Oddie di dapur sambil membuat adonan : “Oddie, cepet dimakan sayurnya, jangan suka pilih-pilih makanan!!! Masa cuma gorengannya aja yang dimakan??!!”

Gori       : “Oh, boleh dong, lu makan di sini aja ya, gue tunggu lu sekarang”
Oddie    : “Siipp, gue abisin makanan lu, hahahaha.... c u there brother”

“Hihihihi...Toh, meskipun banyak sayur, lauk di rumah Gori pasti banyak. Ayam Goreng, Gurami Goreng, pasti banyak macemnya,” pikir Oddie penuh kepicikan.

Setelah mengakhiri chat dengan Gori, Oddie bergegas meraih jaket, helm dan kunci motornya. Sempat berhenti beberapa detik karena melihat sebuah album yang tergeletak di atas meja belajar, Oddie memutuskan untuk meraih album itu dan membawa ke rumah Gori.

***

Meskipun sudah sering ke rumah Gori, selama perjalanan dari pagar depan hingga masuk ke ruang tamu Gori, Oddie tidak pernah berhenti berdecak kagum. Seperti orang udik yang baru masuk kota, sambil menenteng album Oddie berulang kali komat-kamit baca mantera agar kelak memiliki materi yang terhampar di rumah Gori ini.

Sampai di ruang tamu yang dihiasi oleh foto keluarga besar dan masa kecil Gori, Oddie disambut Gori bagaikan saudara kandungnya dari Kazhakstan. Maklum, Gori adalah anak tunggal di keluarganya, jadi sering kesepian meskipun banyak fasilitas yang dimilikinya. Melihat kehadiran Oddie, Gori sangat terhibur.

“Gue heran Gor, apa yang ngebuat lu jadi bosen?” tanya Oddie sambil berjalan menuju area kolam renang pribadi Gori.

“Sebenernya banyak hal yang ngebikin hidup gue monoton Od. Kadang gue ngerasa kekayaan ini seperti nyiksa gue. Lu belum pernah kan ngerasain les privat hampir setiap hari, bantuin bisnis papa yang ribet, dijodoh-jodohin ama anak-anaknya temen papa, ironisnya lagi gue jarang kumpul bareng keluarga gue,” cerita Gori panjang lebar.

Oddie hanya manggut-manggut sambil mengernyitkan dahi mirip Tiffatul Sembiring yang lagi mikir mecahin masalah “provider-provider nakal” di Indonesia. Tidak ingin menghambat aliran curhat Gori, Oddie diam seolah-olah mengisyaratkan Gori untuk bercerita lebih lagi.

“Selama ada lu Od, Bokir, Ruben, dan Septian, gue jadi ngerasa kalau lu pada bukan sekedar sahabat, tapi udah jadi saudara gue. Itu yang kadang jadi pikiran gue saat ini. Waktu gue menemukan kebahagiaan di dalam kalian, kebahagiaan itu harus siap-siap pergi lagi karena gue harus memenuhi keinginan orang tua gue,” keluh Gori.

Melihat Oddie yang sedari tadi menenteng sebuah album berukuran A4, Gori jadi penasaran dan langsung menyambar album itu. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, Gori membalikkan halaman depan dan mulai menjelajahi isi album itu. Gori terkejut melihat foto-foto Oddie yang terlihat akrab dengan maminya, adiknya, Mr.Robert, Bokir, Ruben, Septian, dan Gori sendiri.

Sesekali Gori tertawa lepas saat melihat foto Bokir yang sedang dikejar anjing Pitbull milik Mathilda, anggota Geng Cuwit-Cuwit. Dibaliknya lagi, muncul pemandangan foto mereka berlima yang sedang berpelukan di camp persahabatan. Sempat terdiam dan senyum kecil tersungging di bibir Gori. Dibaliknya halaman berikut, tampak foto Mimi yang digendong Mr.Robert dan Oddie yang sedang menggendong maminya. Bukan ikut melihat album itu, Oddie justru malah melihat ekspresi wajah sohibnya itu.

“Seru banget ya pengalaman-pengalaman kita. Tapi keluarga juga berarti banget buat gue. Sebenerya hidup kita sama kok kayak album ini, ngga cuma diisi foto persahabatan kita. Ada keluarga, ada temen-temen yang lain. Mungkin kelak ada foto pacar gue,” canda Oddie dengan menaikkan alisnya yang tebal itu.

Gori tidak menatap mata Oddie. Tangannnya sibuk membolak-balikkan tiap lembar dalam album berwarna merah maroon itu. Sesekali matanya melirik ke arah Oddie yang masih melanjutkan dakwahnya.

“Yang jelas, letakkan mereka masing-masing di posisi yang tepat. Saat ini lu coba fokus ke kehidupan keluarga lu. Gue liat papa mama lu sayang banget ama lu. Coba lu liat semua fasilitas yang lu miliki di rumah ini. Bukannya itu bukti cinta mereka sama lu Gor?” tanya Oddie yang tidak mengharapkan jawaban Gori.

“Untuk saat ini gue pengen banget memilih jalan gue sendiri. Kita kan udah bukan anak kecil lagi Od,” kata Gori membela diri sambil menatap foto keluarga Oddie yang sedang merayakan ulang tahun Oddie ke 17.

Oddie berdiri dan mendekatkan tubuhnya ke kolam renang milik Gori. Setelah melipat bagian bawah celana panjangnya sampai berhenti di lututnya, Oddie melanjutkan nasihatnya sembari membenamkan kakinya ke dalam kolam.

“Ouww...Bener banget. Gue setuju ama opini lu Gor kalau kita bukan anak kecil lagi. Nah, karena kita udah bukan anak kecil lagi, sekarang kita kudu belajar menatap masa depan yang leeeebih jauh lagi. Itu namanya visi. Jangan takut persahabatan kita putus. Justru tanggal 10 Oktober itu jadi alarm buat kita untuk terus saling mengingat persahabatan kita,” ujar Oddie sambil menatap langit sore yang cerah itu.

Mendengar ucapan Oddie, entah hati Gori seperti cerah kembali seperti langit saat itu. Rona muka yang terpancar di wajah Gori berbeda sebelum Oddie mengutarakan hal itu. Gori menutup album milik Oddie dan meletakkan di atas kursi pantai yang berdiri gagah di samping kolam renang. Perlahan-lahan Gori mengikuti tingkah Oddie yang melakukan ritual sebelum mencelupkan kedua kakinya di dalam kolam. Dia mendekati Oddie dan mengutarakan responnya dari ucapan Oddie.

“Yep. Setiap perkataan lu ngga akan gue lupain Od. Kalau memang jalan hidup gue seperti ini gue harus syukuri. Thank u so much Od. You’re my best friend forever,” tutur Gori sambil melemparkan senyumnya pada Oddie.

“Udah kayak Paris Hilton-Nicole Richie aja kita pake istilah BFF, hahaha...” canda Oddie menutup percakapan mereka.

Sambil mereka bercanda dan bermain-main air, tidak Oddie sadari seluruh pembantu Gori sudah memersiapkan hidangan makan malam yang penuh dengan aneka sayur mayur untuk Oddie dan Gori. Sampai tiba waktunya Oddie akan menikmati hidangan makan malam, Oddie terjejut karena hidangan di meja makan Gori semuanya bernuansa Ever Green. Gori melarang Oddie pulang sebelum makan hidangan yang disediakan.

“GUA GA MAO SAYUR SEMUA!! BUSET!! PARE, JENGKOL, SAWI, TERONG, lu ngerjain gue Gor??” teriak Oddie ditambah pelototannya di meja makan sambil ditarik Gori agar tidak beranjak.

“Lho kan lu yang bilang bakal abisin semua. Lu kudu ngehargain hidangan raja!” paksa Gori sambil tetap menarik Oddie.

“Buset, gue ga nyangka lu raja hutan. Lepasin gue Gor!! Lepasiiiiiinnn... Gue ngga mau makan Jengkoooolll, Pareeee....Huhuhuhu... Terrrooonngggg, eh, Tolooooongggg....” rengek Oddie.

bersambung...

1 komentar:

  1. Wah, berarti nanti pasti jadi ya Gori ke London? Jadi misah deh... Veru nice joke!! Hahahahahaha.... banyak canda2 fresh disini!

    BalasHapus