Kamis, 06 Oktober 2011

Cuma Mau Maimunah (Chapter 9)

pic. by : Johansen Halim
Pagi-pagi buta Bokir sudah dibuat resah dengan perdebatan sang emak. Memang bukan pagi itu Bokir debat dengan emaknya. Malam kemarin percekcokan ala Bibir Yang Ditukar membahana di sebuah gubuk tak bertulang itu.

“Emak.....ngertiin Bokir sekali ini aja. Sekaliii ajaaaa...” isak Bokir diikuti gaya pemenang Piala Oscar tahun 1967. Emak Bokir tidak kalah heboh. Tampaknya Natalie Portman harus siap-siap angkat kaki dari dunia Hollywood jika melihat aksi Emak yang menentang habis sang anak tercinta.

“Lu kagak ngerti ya Kir, Emak lu udah kasih apapun buat lu, sampe raga Emak lu udah kagak ada bentuk lu masih minta yang berharga,” tentang Emak kepada Bokir.

“Sudahlah Emak, Bokir lelah, lesu, lunglai, letih.....laper juga,” kata Bokir sembari beranjak dari ruang tamu, tempat mereka beradu argumen.

“Bokir, kembali! Bokir! Lu kurang darah!” teriak Emak Bokir sambil ngelempar Sangobion.

Drama yang bergulat di antara mereka tak pelak membuat Bokir stres dan penuh ratap. Akhirnya pagi itu Bokir hanya bisa melihat motor butut kesayangannya yang sudah rusak total itu. Ya, ternyata perdebatan yang terjadi kemarin malam adalah permintaan Bokir akan sebuah motor baru kepada si Emak. Emak yang memang hanya punya penghasilan pas-pasan tidak bisa mengabulkan permintaan Bokir yang super mendadak.

Mau tidak mau Bokir harus rela untuk naik angkot menuju sekolah tercinta. Dasar memang sahabat sejati, Oddie sudah berulang kali menawarkan bantuan kepada Bokir. Oddie rela banget untuk menjemput sohibnya yang merana itu.

“Apa sih yang ga buat lu Kir. Lu kan lagi kesulitan, masa gue tinggal diem, gue jemput ya?” rayu Oddie.

“Kagak usah, biar Emak gue tau seberapa menderitanya gue. Thank u ye sob tawarannya, meskipun gue tau kalo motor lu juga mogokan, ujung-ujungnya gue yang ngedorong,” sindir Bokir. Oddie yang mendengar penolakan sohibnya itu cuma bisa cekikian karena ketahuan kebiasaannya.

Sekali agkot tetap angkot. Bokir ingin membuktikan pada si Emak kalau anaknya terlambat sekolah dan terlambat pulang karena harus naik angkot. Pagi-pagi dengan muka kusut Bokir menjinjing tas laptopnya. Tas laptop, bukan tas berisi laptop, di dalam tas laptop Bokir tidak akan menemui laptop, tetapi hanya ada buku-buku pelajaran dan buku tulis beserta alat tulisnya.

Tidak lama setelah Bokir berdiri di depan gang rumahnya, sebuah angkot berwarna hijau melon mendekat. Persis mobil angkot itu berhenti di sebelah Bokir, kemudian sang sopir melongokkan kepalanya untuk menawarkan tumpangan pada Bokir.

“Kalo siswa 500 perak kan bang?” tawar Bokir. Mendengar Bokir mengatakan 500 perak, sang sopir melotot dan menunjukkan sebuah tatto di lengannya yang tertutup kaos bonusan dari Semen Gresik.

“Lu masih punya cita-cita kan??” tantang sang sopir. Bokir yang liat tatto kapak Wiro Sableng itu langsung bergidik dan ngga berani tawar-menawar lagi.

“Ma...Maa..Masih-masih... masih bang. Pengen jadi Polwan. Eh, Polri bang,” ujar Bokir terbata-bata. Dasar Bokir yang cuma berani ngelawan Emaknya, ketemu preman sopir langsung evolusi jadi Aziz Gagap.

Bokir segera naik ke bangku belakang angkot dan duduk di sisi pintu luar. Hampir penuh sesak, hanya tersisa untuk 2 sampai 3 orang lagi. Berbagai aroma mulai dari ikan kerapu sampai terasi Betawi bercampur aduk di dalam angkot itu. Padahal hari masih sekitar pk 06.15 WIB, tetapi banyak orang yang sudah mulai sibuk dengan kegiatannya. Di dalam angkot itu mayoritas diisi para manula seumuran Emak Bokir. Hanya satu yang masih berumur sekitar 35 tahun. Itupun pria dengan kumis melintang dengan badan yang kurus kering.

Entah mengapa ketika Bokir duduk dan merenung di belakang, Bokir teringat perjuangan Emaknya yang setiap hari berdagang di pasar tradisional. Menjual berbagai sayur mayur dan ikan di pasar demi membiayai sang anak. Bokir mulai menitikkan air mata. Ya, karena kelilipan, bukan karena rasa haru.

Tiba-tiba suasana melankolis itu berubah total saat angkot mulai berhenti di sebuah daerah perumahan yang cukup mentereng. Seorang gadis polos memakai baju khas kembang desa memberhentikan angkot berisi belasan orang tersebut. Alangkah terkejutnya Bokir saat melihat gadis berambut hitam pekat dan beralis tebal itu. Kulitnya berwarna kuning langsat dan perangainya mengingatkan orang pada Kate Middleton, istri Pangeran Negeri Monarki, Inggris.

Bak Pangeran William, Bokir turun dari angkot memersilakan gadis itu masuk ke dalam.

“Mari-mari neng, di dalem masih ada satu,” lagak Bokir yang mulai kehilangan perangai sebagai pangeran, malah mirip kenek angkot.

Mendapat pelayanan yang memuaskan dari kenek dadakan itu, gadis manis itu melemparkan senyuman termanisnya. Kebetulan, Bokir duduk dekat dengan gadis tersebut. Setelah beebrapa menit merasa garing dan tidak ada pembicaraan, Bokir mulai memberanikan diri membuka omongan.

“Saya Bokir, mbaknya?” tanya Bokir sembari menyodorkan tangannya. Senyum najong terpancar dari mukanya yang benar-benar mengharapkan balasan gadis itu.

“Maimunah,” jawabnya singkat. Bokir makin penasaran.

Dilihat dari penampilannya sudah bisa ditebak kalau Maimunah adalah pembantu rumah tangga. Tapi Bokir tidak melihat status Maimunah. Kalau ada kata jatuh cinta pada pandangan pertama, Bokir mengalami itu. Bokir yang sudah tahu kalau angkotnya lewat di depan sekolahnya, pura-pura tidak melihat dan melewatkannya. Sablengnya, malah Bokir melanjutkan percakapan dengan Maimunah.

“Mau ke mana Mai? Eh, ngga apa-apa nih manggil Mai langsung, jadi sok akrab  nih?” seloroh Bokir. Melihat kesalahtingkahan pria badung itu, Maimunah cuma mesem-mesem.

“Ga apa-apa, panggil Mai aja, udah keseringan dipanggil mbak kalo di rumah juragan,” jawab Maimunah yang disambut muka sumringah Bokir.

Dalam hati Bokir sedang menjerit kencang saking senangnya. Bokir berpikir kalau memang standar Luna ketinggian, setidaknya Maimunah dapat digapai Bokir. Selain itu Bokir punya kans lebih besar mendapatkan Maimunah karena semenjak tadi Maimunah menatap dengan ekspresi gemas.

“Tiap hari ke pasar jam segini?” lanjut Bokir penasaran.

“Ya iya dong mas. Kalau ngga, mau makan apa juragan. Mana juragan rewel banget, sukanya gonta-ganti menu mulai Indonesian Food sampe Italian Food,” jawab Mai panjang lebar. Mendengar jawaban Mai, Bokir cuma manggut-manggut kegirangan.

“Wah, udah cantik, telaten, bakatnya koki internasional lagi. Gusti, Gusti, rahmat-Mu di balik musibah motor butut memang luar biasa,” jerit Bokir dalam hati. Belum selesai menikmati rahmat yang Kuasa, angkot diberhentikan oleh Mai. Bak peramal, Mai turun sambil menyadarkan Bokir dari kekhilafannya.

“Waktunya sekolah ya sekolah dong bang Bokir. Udah lewat jauh dari sini tuh sekolahnya. Saya pamit dulu ya, daaaahhh.....” sindir Mai melemparkan senyuman sambil melambaikan tangan ke Bokir. Bokir membalas lambaian Mai yang mulai dijauhi oleh angkot.

Penyesalan selalu datang di akhir. Bokir ternyata lupa kalau hari ini ada tes Geografi. Dengan penuh sesal dan takut, Bokir minta ke sopir angkot untuk kembali ke sekolahnya.

“Bang, bi...bi..bisa balik dikit ga bang ke sekolah yang...,” belum tuntas Bokir menyelesaikan permintaannya, sang sopir mulai menaikkan dua lengan bajunya.

“Beneran ga punya cita-cita lu ya?” kata sang sopir dengan nada geram.

Alhasil Bokir berhenti di tempat yang berada beberapa kilo dari sekolahnya .

***

Dari ruang tamu Bokir, mendadak Emak Bokir membawa kabar gembira. Sambil berjalan dengan gaya khas ondel-ondel Betawi, Emak Bokir memanggil Bokir dengan suara yang parau.

“Kiiirrr, sini lu. Emak di mari mau kasih lu sesuatu,” teriak Emak Bokir. Oddie yang sedang nemenin Bokir di kamarnya ikutan mendorong Bokir untuk segera ke ruang tamu.

“Tuh, Emak lu mau kasih sesuatu. Udah kayak Syahrini aja Emak lu,” ledek Oddie. Sambil Bokir berdiri dan mengusap kepala Oddie lantaran Emaknya disama-samain ama Syahrini, Bokir berjalan lunglai menuju ruang tamu.

“Apaan mak?” tanya Bokir singkat.

“Yaelah, yang manis dikit napa ama Emak lu. Sono gih lu pesen motor kesenengan lu. Paman lu di Banyuwangi ngirimin amplop jutaan buat lu beli motor,” jelas Emak sambil menyodorkan amplop berisi kisaran 12 juta Rupiah. Mendadak Bokir bergaya ala Mario Teguh, mengeluarkan kata-kata bijak yang tidak disangka dan tidak dinyana si Emak.

“Surga di telapak kaki ibu. Pemberontakan dan pemerasan akan materi orang tua adalah perbuatan paling keji di dunia. Maka dari itu, Emak boleh simpen, ambil, pakai uang itu. Bokir cukup naik angkot,” ujar Bokir. Tiba-tiba Emak Bokir ingin mengucapkan kata-kata namun Bokir keburu menutup bibir Emaknya dengan jari telunjuknya bak adegan Cinta dan Rangga.

“Jangan ucapkan apa-apa Emak, percaya pada Bokir,” tukas Bokir.
Melihat kelakuan anaknya itu, Emak Bokir girang bukan kepalang. Bokir dipeluk habis-habisan dan pipinya tidak luput dari kecupan Emaknya. Oddie yang mengintip dari kamar dan sempat mendengar cerita Bokir tentang Maimunah cuma bisa geleng-geleng dan tertawa kecil.

“Emang gila lu Kir kalo udah jatuh cinta,” ujar Oddie dari dalam kamar Bokir.

***

Selama beberapa hari Bokir benar-benar mengubah gaya hidupnya bak Pegawai Negeri Sipil yang baru dapat Tunjangan Hari Raya. Semangat bergelora, bangun pagi, dan mendapati angkot di jam yang sama setiap harinya. Entah bisa dikatakan jodoh atau tidak, hampir setiap hari Bokir dan Maimunah bertemu di angkot.

Pembicaraan makin akrab, bahkan mereka sudah sempat bertukar nomor handphone. Meskipun pulsa Bokir tidak pernah penuh, tetapi demi Maimunah, Bokir rela beli pulsa yang mahalan dikit. Setiap di rumah Bokir sering senyum-senyum sendiri. Bahkan, dia jadi semakin baik dengan Emaknya. Tak pelak, perbuatan anomali Bokir itu mengundang keheranan si Emak. Sore hari waktu sedang bersantai berdua di ruang keluarga, Emak Bokir menanyakan perubahan ekstrim yang dialami putra satu-satunya itu.

“Kir, lu kagak napa-napa kan? Sejak motor lu rungsep terus sering naik angkot, lu jadi bahagia banget. Emang lu dapet apaan dari angkot?” tanya Emak sambil dipijitin Bokir.

“Bokir? Emak kali yang dapet. Dapet calon mantu,” ujar Bokir kepedean. Emaknya yang mendengar kata-kata Bokir kontan menendang Bokir yang lagi berada tepat di depan kaki si Emak.

“Serius lu Kir???” tanya Emak kegirangan tanpa sadar anaknya sudah terjatuh dari tempat duduk rotan tersebut.

“Waduh mak, pencak silat 20 tahun lalu kagak usah dikeluarin napa? Sakit bener. Yaaa... belum sampe jadian sih mak, cuma dianya ama Bokir udah sering jalan bareng gitu,” jelas Bokir.

Melihat anaknya yang sudah mulai di ambang laku, Emak Bokir mulai sering menanyakan Mai. Bahkan, Emak ngebet banget minta Bokir bawa Mai ke rumahnya. Meskipun susah, akhirnya Mai mau diajak Bokir untuk main-main ke rumahnya.

“Ya deh bang Bokir, sekali-sekali. Kayaknya Emak bang Bokir baik,” jawab Mai saat ditanya Bokir di angkot pagi itu.

“Nanti abang antar-jemput ya pake sepeda (pinjeman) abang?” tawar Bokir.

“Ngga usah bang, nanti Mai dateng aja langsung ke rumah bang Bokir. Sampe ketemu nanti malem ya bang,” pamit Mai memutus pembicaraan saat Bokir turun persis di depan sekolahnya.

***

Jam 18.00 WIB Bokir sudah berdandan ala Elvis Presley. Emak Bokir tidak kalah heboh, bak mengikuti kontes kecantikan se-kecamatan, Emak bokir berdandan total. Berbagai makanan dan jajan tradisional sudah disiapkan oleh Emak dan Bokir. Setelah semua setting “lamaran” dipersiapkan, tiba-tiba dari luar terdengar suara salam khas wanita muslimah teladan.

“Assalamualaikum....” suara lembut nan syahdu itu membius telinga Emak Bokir.

“Tuh, tuh, calon bini lu dateng,” kata Emak sambil mendorong Bokir untuk keluar menyambut Mai.

Tidak lama setelah pintu dibuka, Bokir dikejutkan oleh penampilan yang di luar dugaannya. Maimunah begitu tampak mempesona dengan dandanannya yang sangat sederhana. Tidak banyak riasan dalam tubuhnya. Kebersahajaan dan keanggunan yang membalut fisiknya malam itu.

Bokir jadi salah tingkah sendiri dan tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana lantaran banyak yang ingin diungkapkan saat itu. Mai yang cantik, pergi dengan siapa, naik apa, boleh pulang sampai jam berapa, bercampur aduk dalam benak Bokir.

Tidak pakai lama, Bokir mengajak Mai masuk ke ruang makan yang sudah diisi oleh Emak Bokir. Sama halnya dengan Bokir, Emak begitu terpesona melihat kecantikan Mai. Tanpa basa-basi terlebih dahulu dengan Mai, Emak menarik Bokir ke kamar Emak.

“Lu kagak boleh main dukun ya!! Emak kan udah bilang sejak lu SD, kagak ada istilah cinta ditolak dukun bertindak, Emak kecewa ama lu,” bentak Emak Bokir sambil berbisik di telinga Bokir.

“Mak! Ini halal! Udah ah, malu-maluin aja tingkah kita, buruan kita keluar, kesian Mai sendirian,” bantah Bokir sambil menyeret Emaknya keluar.

Melihat tingkah anak dan ibu itu Mai tertawa kecil dan mulai mengakrabkan diri. Tidak butuh waktu lama untuk bergaul dengan Mai. Emak Bokir langsung match dengan topik Mai. Memang kehidupan Mai begitu sederhana dan soleha. Bisa dikatakan dirinya adalah calon menantu yang komplet. Di sela-sela pembicaraan dan topik yang asik, tiba-tiba Emak Bokir menginterogasi Mai.

“Menurut dek Mai, Bokir itu laki yang gimana sih?” tanya Emak yang mendapat bonus pelototan mata anaknya.

“Hmmm...Siapa yang kelak menjadi istri bang Bokir bakal jadi wanita paling ceria di dunia ini,” jawab Mai bijak. Mendengar jawaban itu, Emak Bokir bak mendapat durian runtuh.

“Naaahhhh, kalau gitu......”

*GLODAKKKKKK*

belum selesai Emak Bokir bicara, Bokir menjatuhkan dirinya dari kursi untuk memutus pembicaraan Emak.

“Ya ampun Kirr, ati-ati dikit napa, malu kan dilihat Mai,” tegur Emak yang menyalahkan “kecerobohan” Bokir.

Setelah beberapa jam bercanda bersama di ruang makan dan ruang keluarga, Mai harus segera pamit pulang. Emak Bokir seperti tidak ingin melepas kepergian calon menantu idamannya itu. Berkali-kali Emak Bokir selalu minta Mai sering-sering main ke rumah Bokir. Saat mengantar Mai ke luar pintu terdapat sesosok pria bertubuh tegap yang menunggu menggunakan motor.

“Terima kasih jamuannya. Semoga persahabatan kita ga akan pernah putus ya bang Bokir. Emak terima kasih banyak. Kasihan tunangan saya udah nunggu lama. Terima kasih, Wa’alaikumsalam...” tutur Mai sambil menghampiri tunangannya.

Bokir dan Emaknya tersenyum kecut sambil melambaikan tangan ke Maimunah dan tunangannya. Setelah Mai dan tunangannya pergi menjauh, Bokir saling menatap dengan Emaknya. Hening beberapa detik. Emaknya masuk ke dalam rumah diikuti oleh rengekan Bokir.

“EMAAAKKKKK, BELIIIIINNN MOTORRRRR........”

“KAGAKKKK!!”

“EMAAAKKK!!!”

“UANGNYA UDAH EMAK PAKE BUAT MAEN SAHAM!!”

“MAAAAKKKK!!!”


bersambung...

Sabtu, 01 Oktober 2011

Ketabahan Mbok Jijah (Chapter 8)

pic. by : Johansen Halim
Kantin SMA Pahlawan Bangsa adalah salah satu tempat nongkrong favorit Oddie cs. Selain di samping lapangan basket, mereka selalu menghabiskan waktu istirahat mereka di kantin, khususnya di depan kantin Mbok Jijah yang very cozy itu. Bokir yang paling doyan ngebon alias makan mie hasil utangan tiba-tiba murung beberapa hari ini.

Gimana ngga murung, Mbok Jijah tiba-tiba absen menggelar dagangan mie ayamnya. Sudah dua minggu Mbok Jijah tidak menampakkan batang hidungnya. Biasanya Mbok Jijah selalu menyambut Oddie, Septian, Ruben, Gori, dan Boir dengan cara yang unik setiap harinya:

Mbok Jijah            : Eh, nak Gori. Gantengnya ngga luntur-luntur. Ini nih, mbok tambahin ayamnya. Ada jamur Vietnamnya juga. Mbok sendiri yang ke sana, ngambilin khusus buat nak Gori.

Gori                       : Ya ya ya *belagu*, thank u thank u, ini gue bayar mbok, sekalian gantiin tiket pesawatnya *nyerahin Rp 50.000,00* Kembaliannya ambil aja. Ga biasa pegang uang warna-warni soalnya. Kata mami cuma boleh megang warna biru ama merah yang nolnya lima. Selebihnya ikhlasin.

Gimana ngga sayang ama Gori, setiap dia beli di kantin Mbok Jijah, Mbok Jijah bak menang undian rutin.

Kisah ironi muncul ketika Bokir yang mengantri untuk membeli mie ayam. Sudah berada di antrian yang paling depan, Mbok Jijah udah rada empet melayani customer setianya itu.

Mbok Jijah             : Hari ini ayamnya satu setengah sendok cukup *ketus*

Bokir                      : Yaaahh, mbok, Gori dikasih jamur Vietnam, masa gue kagak mbok?? Mana ayam ga sampe dua sendok lagi.

Mbok Jijah               : Kebangetan ente, bocah bah’lul! Utang yang kemarin-kemarin masih belum ente bayar kan? Masih untung ente kagak ane buat jadi bahan mie ayam, sini ente!! *ngejar Bokir bawa saringan mie*

Bokir                         : Mbok, mbok, insyaf mboookk.... *lari tunggang langgang*

Apalah daya, kini kekonyolan dan kekocakan Mbok Jijah tidak ditemui mereka lagi di setiap jam istirahat sekolah. Oddie dan sohib-sohibnya seperti kehilangan ibu asuh mereka. Kenikmatan mie ayam yang dipadu dengan omelan dan kecerewetan sang penjual jadi santapan mereka sehari-hari. Usut punya usut, Bokir yang memang telinganya bak wartawan investigasi mulai mendapat beberapa prediksi dan informasi dari beberapa narasumber terpercaya.

“Meskipun gue tau Mbok Jijah keliatan ga ada sayang-sayangnya ama gue, tapi gue yakin dari dalem lubuk hatinya menyimpan cinta yang besar buat gue. Buktinya sampe sekarang gue kagak diracun ama dia,” tutur Bokir yang sampai sekarang tagihan mie ayamnya setara tagihan listrik di rumahnya.

“Gue curiga, pasti ada sesuatu yang ga beres ama Mbok Jijah. Udah 15 tahun lebih mbok jualan di sini masa tiba-tiba tutup, ngga ngomong ama kita-kita lagi, memang musti diselidikin nih,” tegas Oddie yang diikuti anggukan sohib-sohibnya. Seperti biasanya, Oddie sebagai koordinator kegiatan iseng-iseng berhadiah mulai membagi job description ke sohib-sohibnya.

“Mari kita mulai,” ujar Oddie sembari melepaskan senyum licik ke para sohibnya.

***   

Selidik punya selidik, Oddie memang sedang sibuk menyelidiki absennya Mbok Jijah dari kancah perkantinan SMA Pahlawan Bangsa. Mulai dari Pak Fernando, sang kepala sekolah sampai Pak Yusron, penjaga pintu gerbang sekolah tidak luput dari interogasi Oddie. Menariknya, dua narasumber itu mengeluarkan statement yang anomali (ganjil) buat Oddie.

“Pak Fernando bilang gara-gara Mbok udah ngga betah lagi jual mie ayam, nah, Pak Yusron bilang belakangan modalnya kagak cukup,” heran Oddie waktu lagi bareng-bareng sohibnya nongkrong di tepi lapangan basket.

Di tengah-tengah percakapan yang masih penuh asas praduga tak bersalah itu, Bokir memecahnya dengan ambisi jasmaninya.

“Sob, mikirnya sambil makan gimana? Gue denger, mie ayam seberang sekolah punya Mas Otong ga kalah enak ama punya Mbok Jijah, se-ngga-ngganya mas Otong sekarang yang jadi pelipur lara gue sejak ga ada Mbok Jijah,” ajak Bokir yang sempat tidak mendapat perhatian dari sohib-sohibnya yang lagi mikir bak detektif gadungan.

“Sob, perut gue udah demo nih, nyeberang bentar nyok, kagak jauh juga kan dari sini, kalian mikir, gue maem, ya ya ya?” rengek Bokir dengan logat khas Betawinya. Nampaknya Oddie, Ruben, Gori dan Septian menaati pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Mereka berangkat ke seberang untuk mencoba mie ayam yang ramainya bukan kepalang.

“Buset, kayaknya yang jual mie ayam Otong Bieber tuh, noh liat temen-temen kita ngantrinya bukan maen,” celetuk Ruben yang melihat situasi warung mie ayam Mas Otong dari jauh. Bokir yang merasa perutnya tidak ada lagi yang bisa menolong selain mie ayam Mas Otong, langsung bergabung dengan lautan manusia SMA di warung Mas Otong.

“Semangkuk, kagak pake sayur, diganti ayamnya aja yang dibanyakin,” teriak Bokir yang mendapat sambutan ramah Mas Otong.

“Beres boss,” sahut Mas Otong. Melihat kawan-kawannya yang tidak memesan Bokir jadi empet liat sohib-sohibnya. Oddie sempat menatap cukup lama salah satu pegawai Mas Otong yang sedang sibuk meracik bumbu mie ayam di dalam mangkuk.

“Od, lu udah pindah haluan? Tamara lu tolak, sekarang lu ngincer mas-mas, yang bener aja lu?” sambar Bokir yang masih tidak mendapat hirauan dari Oddie.

“Bentar-bentar, gue kerasa aneh aja. Bukannya dia yang sering bantuin mbok Jijah ya di kantin?” heran Oddie sambil meletakkan jari telunjuknya di lubang hidung (maksudnya di pelipis kanannya).

Sohib-sohib Oddie mulai coba mengingat-ingat wajah pegawai Mbok Jijah. Lebih terkejut lagi ketika samar-samar Oddie mendengar beberapa pembeli yang membandingkan Mie Ayam Mbok Jijah dengan Mie Ayam Mas Otong. Merasa mendapatkan jawaban dari alam, Oddie langsung ikutan nimbrung di pembicaraan pembeli tersebut dan meninggalkan Ruben, Septian, Gori, dan Bokir yang lagi inget-inget pegawai mie ayam Mbok Jijah yang lama.

“Enak banget ya mienya?” timpal Oddie di tengah-tengah percakapan kedua pembeli tersebut. Meskipun tidak terlalu kenal, Oddie merasa dirinya adalah selebriti yang pasti bisa diterima oleh semua kalangan usia.

“Iya, enak banget! Racikan bumbunya sedep banget, mirip ama punya Mbok Jijah. Malah ini lebih sedeeeppp banget. Yang jual ramah juga, Mbok Jijah kan cerewet, hahaha...” ujar salah satu dari mereka. Setelah mendapat opini mereka, Oddie buru-buru narik Bokir dan yang lainnya untuk segera ke rumah Mbok Jijah hari itu juga.

“Od...Od...gue baru mau makan Od,” protes Bokir yang tidak mendapat tanggapan dari Oddie. Alhasil, Bokir utang lagi. Tidak makan, hutang pula. Sudah jatuh, tertimpa mie ayam. Oddie cs bergegas menuju rumah Mbok Jijah yang tidak terlalu jauh dari SMA Pahlawan Bangsa.

***

Di teras rumah Mbok Jijah yang asri nan hijau.....Diikuti kicauan burung di tengah teriknya sinar mentari siang hari...

“Permisiiii.... Mbookk Jijaaaah.....Ohhh....Mbok Jijah....” teriak Septian yang diikuti suara tiga milik Ruben dengan nada menyapa jamaah. Nampaknya koor tersebut tidak bersambut. Tidak ada insan yang muncul di balik teriakan Septian dan Ruben. Sapaan tersebut memang tak berbalas, namun terjawab dengan tampaknya sesosok mbok-mbok bertubuh tambun sedang membawa sekeranjang sayur mendekati mereka.

Ya, tidak lain dan tidak bukan itu adalah Mbok Jijah yang pulang dari pasar siang dekat rumahnya. Sekeranjang belanjaan mulai dari kentang, selada, taoge, mentimun, sampai belinjo doborong oleh mbok Jijah dalam satu keranjang berukuran besar tersebut.

“Lho Mbookkkk, kok jadi beli sayur-sayuran gini?” teriak Gori setelah Mbok Jijah mendekat di antara mereka. Bokir yang tidak merasa kalau masih ada hutang ama Mbok Jijah berani-berani membongkar belanjaan Mbok Jijah. Aksi kucing kelaparan itu dilakukan Bokir lantaran mie ayam yang dipesan tadi tidak jadi disantap. Melihat tingkah Bokir, Mbok Jijah cuma bisa geleng-geleng dan menjewer telinga Bokir.
“Eh, bocah bah’lul, masih berani bongkar-bongkar ente. Nyari bon utang ente?? Noh, udah ane laminating di dalem,” canda Mbok Jijah yang mengundang gelak tawa Oddie, Ruben, Gori, dan Septian. Sambil menjewer Bokir, mereka semua masuk ke ruang tamu Mbok Jijah. Bokir cuma bisa meringkih minta ampun agar jeweran Mbok Jijah segera dilepaskan.

Merasa tamunya pasti kehausan, Mbok Jijah langsung menuju dapur untuk membuatkan sedikit kudapan dan teh manis di dapur untuk Oddie cs. Suasana ruang tamu mendadak berubah menjadi serius ketika Gori mulai menginterogasi Mbok Jijah secara SLJJ (antara dapur dan ruang tamu).

“Mbok, tega banget ga mau jualan lagi di kantin sekolah? Kenapa sih mbok??” tanya Gori dengan nada penasaran tingkat dewa.

Mbok Jijah yang memang pada dasarnya tidak bisa diem, menjawab pertanyaan Gori sambil menyiapkan sajian di atas nampan dapur. Sesaat hening, namun dipecah oleh sanggahan mbok Jijah yang mengejutkan.

“Mbok ngga mau kalian sakit, makanya mbok lebih milih sementara ini ngga jualan dulu sampai semua tenang,” ujar Mbok Jijah yang tidak menampakkan wajahnya karena sedang sibuk di dapur.

Oddie dan keempat sohibnya yang sedang duduk di ruang tamu saling berpandangan tanpa mengerti maksud Mbok Jijah. Bokir yang paling penasaran dan paling banyak utang balik tanya ke Mbok Jijah.

“Jujur mbok, kami ngga tahu sebenernya kenapa sih? Kok sampe ada acara ngga mau kami sakit? Perasaan mie mbok baik-baik aja, enak banget lagi,” puji Bokir dengan harap utangnya dilunaskan melalui pujian tersebut.

“Dua minggu lalu, beberapa siswa komplain ke mbok. Ada yang marah-marah, ada yang kecewa, mbok sedih kalau inget lagi ekspresi mereka. Mereka bilang kalau mereka sakit perut gara-gara makan mie ayam Mbok,” cerita mbok Jijah yang diikuti ekspresi terkejut Oddie cs.

“Kok bisa?? Mereka kali yang makannya ga cuci tangan??” bela Ruben. Sesaat setelah mendengar pembelaan Ruben, Mbok Jijah keluar dari dapur dengan sedikit menitikkan air mata. Sesekali isakan tangis tersbut mengundang empati Oddie cs. Sambil menyuguhkan teh dan kudapannya Mbok Jijah menjelaskan kehidupannya sehari-hari setelah keluar dari kantin SMA Pahlawan bangsa.

“Lumayan, untuk nutupin biaya hidup bisa jualan gado-gado. Pak Fernando juga minta mbok segera balik. Tapi mbok masih belum siap, apalagi pegawai mbok sudah keluar,” jelas Mbok Jijah.
Bak Presiden Soekarno yang bakal membaca Proklamasi Kemerdekaan RI, Oddie berdiri gagah dan menyemangati Mbok Jijah.

“Mbok, sekarang mbok simpen sayurnya. Ini uang buat modal, mbok ke pasar sekarang, beli bahan-bahan mie ayam. Mulai besok, kami berlima yang bantu mbok jualan, dijamin kami higienis,” nasihat Oddie sambil menyambar duit 300.000 di saku dada Gori kemudian memberinya ke Mbok Jijah. Gori cuma bisa mendelik sembari dibungkam oleh Septian dan Bokir yang duduk di sebelahnya. Mbok Jijah tersenyum lega seolah-olah mendapat dorongan positif dari pelanggan setianya.

***

Sinar mentari menembus berbagai sudut SMA Pahlawan Bangsa. Tidak terkecuali kantin Mbok Jijah yang kembali disinari mentari baru. Dengan membawa tim baru, tidak mudah buat Mbok Jijah untuk mengembalikan reputasinya. Oleh sebab itu, setiap kali istirahat, Oddie cs melayani kawan-kawannya yang memesan mie ayam di kantin Mbok Jijah. Geng Cuwit-Cuwit yang melihat tingkah Oddie cs tersebut cuma bisa senyum-senyum melihat lima cowok macho itu melayani dengan style waiter Pizza Hut.

“Mau pesan apa tuan putri?” ujar Oddie sembari menggoda Luna. Ditawari oleh cowok setampan Oddie, Luna sedikit salah tingkah dan menjawab dengan gurauan.

“Emang selain mie ayam, di sini ada Yoghurt ya?” tantang Luna yang diikuti oleh cekikikan Geng Cuwit-Cuwit. Dasar Oddie yang tidak pernah mati kutu, Oddie membalas gurauan Luna.

“Tepat sekali Anda memilih dessert terlebih dahulu. Kami menyediakan berbagai jenis topping untuk Yoghurt mulai dari, Asmaralmond, Rinduberry, sampai Chococintakamu,” ujar Oddie menggoda Luna dengan mengedipkan satu mata ke Luna.

Sontak teriakan Geng Cuwit-Cuwit menarik perhatian siswa-siswi SMA Pahlawan Bangsa.  Ruben, Septian, Gori, dan Bokir ikut tertawa meramaikan suasana kantin mbok Jijah. Tanpa disadari kantin Mbok Jijah kembali ramai dikunjungi oleh pembeli. Karena melihat situasi yang sangat ramai, pembeli merasa bahwa mie ayam Mbok Jijah tidak beresiko.

Sampai pada akhirnya ketika pulang sekolah Oddie cs ikut bersih-bersih kantin Mbok Jijah, Septian menemukan sebotol bubuk pencahar untuk sakit perut di sudut bawah bagian dalam lemari mangkuk mie.

“Wah, ini nih biangnya yang bikin Mbok Jijah banting setir. Ga salah lagi, ada oknum-oknum yang perlu dikasih pelajaran nih,” tutur Septian yang mendapat respon Oddie, Ruben, Gori, dan Bokir. Melihat bubuk tersebut, Mbok Jijah terkejut bukan kepalang.

“Ya ampuuunnn, tega banget si Somad, 10 tahun ngikut ane tapi nyelakain ane. Sudah nak Septian, ngga usah diambil hati. Biar Tuhan yang memperhitungkan semuanya, mbok ngga ada hak menghakimi dia. Biar dia bahagia kerja di luar sana,” ujar Mbok Jijah yang mendapat pelukan dari Bokir, Septian, Oddie, Gori, dan Ruben.

***

Setelah 3 bulan dari insiden tersebut, kantin Mbok Jijah kembali normal. Tidak ada keluhan lagi dari pembeli, bahkan Mbok Jijah semakin berinovasi dengan macam-macam menu mie ayam. Oddie, Ruben, Bokir, Septian, Gori, dan Geng Cuwit-Cuwit jadi semakin sering bergurau dan berkumpul di depan kantin Mbok Jijah.

Warung Mas Otong yang dulu ramai disesaki pembeli kini telah tutup lantaran terbukti banyak menggunakan campuran bahan pengawet di dalam pangsit mie tersebut, mulai dari vetsin yang berlebih sampai menggunakan ayam tiren (mati kemaren). Mas Otong dan Somad terbukti banyak melakukan kejahatan melalui bahan makanan yang dijajakan di sekolah-sekolah. Kini mereka berdua hidup dalam kesusahan dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari pelanggannya.

***

“Waspadalah terhadap makanan yang kalian konsumsi. Jaga Kesehatan dan selalu tersenyum”

bersambung...

Senin, 19 September 2011

Metamorfosis (Chapter 7)

pic. by : Johansen Halim
Perjalanan menggunakan bus mini pribadi yang dipelopori Oddie benar-benar sesuai bayangannya. Ramai, gila, kocak, dan menggembirakan. Bahkan, melebihi dari ekspektasi Oddie, Tamara yang cantiknya bukan kepalang ikutan meramaikan bus bermuatan sekitar 15 orang tersebut. Tamara duduk di barisan paling belakang dan berada di dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan selama perjalanan.

Merasa ada topik dadakan, Septian melayangkan sebongkah ledekan ke Oddie dan Tamara.

“Bilang-bilang dong Od kalau lu ngajakain Tamara juga,” sindir Septian yang kemudian mendapat cubitan pipi dari Oddie.

“Ato jangan-jangan lu emang butuh suster nih buat jagain lu yang baru sembuh, oooo....soo sweeettt, maniss bangeettt...” ledek Luna yang diikuti sorakan Geng Cuwit-Cuwit.

Mendengar ledekan tersebut, sayembara memerahkan pipi diikuti oleh Oddie dan Tamara. Oddie tidak bisa membalas ledekan teman-temannya dan cuma bisa memonyong-monyongkan bibirnya, bahkan berusaha untuk menenangkan Tamara yang pipinya sudah memerah marun.

“Wah, ga usah didengerin Tam. Mereka ga biasa dengan kehidupan Barat kayak kita-kita gini, deket dikit udah disorakin, hehehe....Nih, minum dulu, tadi ngos-ngosan kan,” ujar Oddie menenangkan hati Tamara sambil memberikan sebotol air mineral. Sembari memberikan air mineral tersebut, Oddie duduk di samping Tamara. Basa-basi Oddie yang kepalang basi mulai meluncur dari bibir tipisnya.

“Kok tumben kamu telat? Ga biasanya. Ato kita emang jodoh kali ya biar bisa berangkat barengan? Hahahahaha....” canda Oddie dengan penuh rasa percaya diri. Mendengar gurauan Oddie, Tamara mulai merasa bahwa Oddie juga ada rasa dengannya. Sembari Oddie ngoceh apapun yang ada di pikirannya, mulai membicarakan gunung, sawah, sampai eye liner Luna yang dinilai Oddie ketebelan, Tamara mulai memberanikan diri duduk semakin dempet dengan Oddie.

Dasar Oddie yang memang mati rasa, ngga kerasa kalau didempet, tetap berceloteh tanpa henti. Akhirnya Tamara perlahan memegang jemari Oddie dan menggenggamnya. Setelah ngoceh bak komentator pertandingan bola antara Manchester United VS Chelsea, mendadak Oddie bermetamorfosis menjadi Aziz Gagap. Oddie tidak melepaskan genggaman Tamara yang sedang melihat pemandangan dari jendela, tetapi Oddie juga tidak ingin sohib-sohibnya mengetahui adegan Tamara menggenggam tangan Oddie karena hal itu akan memicu keriuhan yang teramat sangat. Akhirnya Oddie mengalihkan perhatian Tamara dengan menawarkan snack yang dibawa oleh Bokir.

“Eh, bentar, gue yakin lu pasti laper, belum sarapan kan pasti? Gue ambilin lempernya ya. Enak banget. Asli buatan Emaknya Bokir, tanpa boraks,” ujar Oddie sambil berdiri dan menyambar sekotak makanan yang disimpan rapi oleh Bokir di belakang bus.

Tamara yang melihat kesalahtingkahan Oddie hanya tersenyum dan menunggu. Dari kejauhan Tamara melihat tingkah Bokir yang sedang merayu Luna dengan syair-syair kilat buatan Ruben:

Birunya langit tak sebiru bola matamu. Jernihnya mata air tak sejernih hatimu. Di bawah kolong gua daku melihat seberkas sinar. Tak ayal diriku merasa lega, karena kegelapan itu telah sirna dengan adanya kehadiranmu. Oh, Luna, dengan apakah kudapatkan sinar itu selamanya, agar kulit dan hidupku tiada menjumpai petang.

Puisi tersebut sama sekali tidak menggoyahkan hati Luna, dia dan gengnya cuma tertawa layaknya menonton acara Ketoprak Humor. Di antara hiruk pikuk para penghuni bus,  sesekali Luna menengok ke belakang untuk melihat apa yang dilakukan Oddie dan Tamara. Alhasil, adegan yang dilihat oleh Luna adalah ketika Oddie bercanda menyuapkan lemper ke mulut Tamara.

***

Perjalanan selama hampir dua jam begitu terasa. Dua jam perjalanan yang didominasi oleh eksistensi Bokir serasa menonton film Rise of the Planet of the Apes. Rombongan Oddie dan kawan-kawan akhirnya sampai di sebuah perkemahan yang begitu luas dan asri. Kontan waktu mereka datang, Oddie dan rombongannya sudah tidak sabar untuk menempati tendanya masing-masing. Namun, sesuai SMS Aldo, Oddie dan yang lain harus menempati area yang sedikit jauh dari Camp Pusat.

“Sorry ye temen-temen, gara-gara keisengan gue akhirnya kita dapat tenda agak jauhan,” ucap Oddie selama perjalanan menuju tenda mereka. Di luar dugaan, Geng Cuwit-Cuwit justru sama sekali tidak ngomel, mereka justru berterima kasih dengan ide Oddie yang membuat mereka terpingkal-pingkal selama perjalanan. Tetapi respon para wanita cantik tersebut berubah ketika melihat suasana di area tenda yangsedikit mengerikan.

“Od, lu lagi ga ngerjain kita lagi kan?” ujar Luna dengan nada lirih. Bokir yang merasa pertolongonnya akan dibutuhkan langsung mendekat ke Luna.

“Od, belum-belum setannya udah ndeket nih,” ledek Luna kepada Bokir di sela-sela ketakutannya.

“Ga usah takut Lun, gue yakin kok Oddie dan temen-temennya bisa ngelindungin kita-kita,” ujar Tamara menenangkan Geng Cuwit-Cuwit.

“Iya, gue yakin juga ga bakal ada apa-apa kok. Kan di sini kita rame-rame, yuk kita rapiin barang-barang kita, kata Aldo sebentar lagi persiapan untuk acara barbeque-an, setelah ini kita bantuin mereka,” ujar Oddie sambil melemparkan senyum ke seluruh kawannya.

Tidak lama setelah Oddie berbicara, mereka semua menyebar ke tenda masing-masing. Geng Cuwit-Cuwit dan Tamara berada di dalam satu tenda, di depan tenda mereka adalah tenda para pria-pria badung yang bersiap untuk menjaga wanita-wanita tersebut di malam hari.

“Gue bakal jagain itu tenda, gue rela kagak tidur semaleman biar ga ada satupun yang bisa gangguin tuan putri gue,” tutur Bokir dengan penuh ambisi di dalam tenda. Oddie dan sohibnya yang lain tidak menghiraukan tekad sohibnya yang satu itu. Mereka semua bergegas dan keluar tenda untuk berkumpul bersama seluruh peserta Camp Persahabatan.

“Woi, woi, tungguin gue napa, gue belum ganti celana, jagain tendanya, woooiii.....” teriak Bokir memanggil sohibnya yang sudah keluar dari tenda dan menuju camp pusat.

***

Malam hari telah tiba. Pesta Barbeque dan api unggun dimulai dengan lawakan-lawakan Bokir dan Ruben. Mereka berdua menceritakan detail keisengan Oddie yang membuat mereka panik sesaat. Beberapa anggota ada yang sedang sibuk membakar sate barbeque, membuat api unggun, sampai mempersiapkan acara talent show.

“Oke2 guys, kita bakal buat pertunjukkan luar biasa malem ini. Kalian bisa mengeksplor semua bakat kalian malem ini. Tentunya bakal ada juri yang bakal menilai. Jurinya gue, Oddie, dan Luna,” jelas Aldo di depan semua peserta.

Kegaduhan mulai menggegap gempita di camp pusat. Seluruh peserta yang akan melakukan pertunjukkan talent show mempersiapkan peralatan untuk penampilannya. Bokir, Ruben dan Septian kembali ke tenda dengan menggunakan senter mininya untuk mengambil peralatan mereka. Walhasil, ketika mereka sampai sekitar radius 15 meter dari tenda, mereka melihat keganjilan di dalam tendanya.

“Stop stop stop, lu liat ga, kayaknya di dalem tenda kita ada orang?” ujar Septian yang diikuti oleh rasa panik Bokir dan Ruben.

“Sep, balik aja yuk, mending kita acapella aja, kagak usah pake gitar lu,” timpal Bokir yang mulai pengen pipis di celana.

“Lu kan penampilannya kudu pake speaker portablenya Gori, masa lu nari On The Floor-nya Jeniffer Lopez kagak pake musik??” paksa Septian.

“Bodo’, mending gue nari kecak pake suara gue sendiri daripada gue ketemu kembaran gue,” tutur Bokir yang semakin mundur dari langkahnya.

Mendadak tenda tersebut menjadi semakin heboh, berisik dan tampak goyang ketika dilihat dari luar.

“Wassalam dah, gue pamit duluuu....hiiiiiii....” teriak Bokir sambil berlari. Alhasil Ruben dan Septian ikutan kalang kabut.

Tiga laki-laki  yang mengaku macho itu lari kalang kabut tanpa meninggalkan jejak sambil berteriak. Sesampai di camp pusat, mereka mencoba untuk bercerita apa yang mereka lihat kepada Oddie.

“Kagak usah cerita macem-macem dah lu pada, mau ngerusak konsentrasi gue jadi juri nih biar kalian yang menang? No KKN, No No No...” ujar Oddie bak anggota KPK.

“Sumprit, serah lu. Ntar lu juga bakal ketemu,” timpal Bokir menakut-nakuti Oddie.

Meskipun sempat shock sesaat, acara talent show tetap dijalankan dan mereka mampu fokus dengan penampilan mereka masing-masing.

Beruntung perlengkapan yang dibutuhkan oleh Bokir, Septian, dan Ruben dapat disediakan oleh panitia camp yang lain. Ketiga juri bak American Idol tersebut sudah mulai duduk di singgasananya. Aldo, Luna, dan Oddie duduk berjajar untuk melihat bakat-bakat kawannya. Acara Talent show yang memakan waktu 80 menit tersebut menghangatkan suasana malam, sorakan demi sorakan keluar dari berbagai tekstur bibir, mulai dari monyong sampai super monyong. Bahkan sempat memanas saat menonton goyangan Hit On The Floor milik Bokir Lopez. Alhasil, karena mampu menerima banyak timpukan kacang, pemenang talent show tersebut diperoleh Bokir.

***

“Gila goyangan lu Kir. Lu kudu go international. Mumpung Thailand lagi buka lowongan tuh di Pattaya, buruan ngelamar,” ledek Gori yang kerap ke luar negeri. Perjalanan Oddie cs dan Luna cs ke tenda mereka masih diisi oleh topik tarian Bokir.

“Dari tadi gue kok ngga ngeliat Tamara ya? Jangan-jangan pingsan lagi pas liat goyangan lu,” sindir Suzanne, anggota Geng Cuwit-Cuwit.

“Lho Od, masa lu ga tau di mana Tamara? Kalau dia kenapa-napa gimana?” ujar Luna dengan nada tinggi.

“Gue ngga kenapa-napa kok,” ujar Tamara yang tiba-tiba muncul dari belakang. Sontak perbuatan Tamara tadi membuat Oddie cs dan Luna cs berteriak kaget.

“Waaaaaaaaaa.....gila lu Tam, dari mana aja lu? Lu kagak melayang kan sekarang? Kagak ada suara kagak ada aba-aba muncul aja,” tutur Ruben yang berada persis membelakangi Tamara.

“Sorry kalau gue diem aja, habisnya kalian seru banget topiknya,” ujar Tamara yang diikuti senyuman.
Merasa aneh dengan cara jalan Tamara, Oddie mendekat dan sengaja berjalan di samping Tamara. Oddie menggandeng tangan Tamara selama perjalanan. Tamara yang melihat perbuatan Oddie terkejut dan ingin mengutarakan sesuatu, tapi buru-buru disela oleh Oddie.

“Ceritanya ntar aja di tenda,” tutur Oddie sembari tersenyum.

***

Krik Krik.... Krik Krik..... Krik Krik....

“Hahahahahaa.... Trus-trus, emak gue tiba-tiba ditaksir ama tukang becak depan gang gue, gilanya, emak gue lagaknya udah kayak Nikita Willy di sinetron Putri yang Ditukar....Jual mahal abis....  tapi tiap ke pasar musti dandan menor biar dilihat ama tukang becak ntu, wakakakaka....” cerita Bokir yang membuat Luna CS, Septian, Gori, dan Ruben terbahak di tenda Geng Cuwit-Cuwit malam itu.

Selagi Bokir bercerita tiada henti, Oddie sedang menemani Tamara yang kakinya terluka cukup parah. Tampaknya Tamara tadi berusaha untuk menaklukkan ular yang ada di dalam tenda Oddie cs selagi anak-anak sedang memersiapkan Night Party tadi. Dengan alasan ingin membicarakan sesuatu yang penting, Oddie meminta teman-temannya untuk meninggalkan mereka berdua demi mengobati kaki Tamara di dalam tenda Oddie cs.

“Oh, jadi itu yang dibilang anak-anak setan di dalem tenda,” ujar Oddie sambil membalut perban di kaki Tamara.

“Adududuh Od, sakiiittt...” rintih Tamara.

“Sorry sorry, kekencengan ya? Kayaknya lu harus dibawa ke camp pusat deh, bentar ya gue mau.....” belum sempat Oddie menuntaskan niatnya, tiba-tiba Tamara memeluk Oddie dengan erat.

“Lu masih ga berubah Od sejak kecil. Sikap lu selama ini yang selalu care yang ngebuat gue ga pernah berhenti mencintai lu,” tutur Tamara.

Jantung Oddie copot bukan kepalang. Ingin melepaskan pelukan Tamara, tapi Oddie benar-benar merasa tidak enak untuk melepaskan pelukan di malam yang dingin itu. Pelukan itu benar-benar terasa tulus dari hati yang paling dalam.

“Buset, buset, ampuni gue emak, ampuni gue abah, mampus gue kalo Bokir, Ruben, Septian, Gori ato Geng Cuwit-Cuwit masuk,” gumam Oddie dalam hati.

“Gue udah yakin, lu ga bakal bales pelukan gue. Ternyata Lu masih belum bisa terima gue meskipun gue sudah berubah penampilan secara total. Tampaknya penampilan gue dulu masih terlalu buruk untuk diinget,” ujar Tamara yang diikuti oleh isak tangis kecil.

Melihat air mata yang menetes di pipi Tamara, Oddie tidak tega untuk melihatnya. Oddie menghapus air mata Tamara dengan sapu tangan yang dibawanya di dalam saku. Setelah beberapa menit adegan mengamplas pipi Tamara berjalan, akhirnya Oddie siap untuk membuka mulut.

“Tamara Angela Gunadi. Murid kelas 3b di SD Tunas Bangsa. Pernah nembak gue kemudian diledek temen-temen satu sekolah karena penampilan yang kelewat cupu abis. Kacamata kanan – kiri minus 5, rambut berkepang, rok selalu di atas puser, punya tompel tembus pandang di daerah punggung. Hmmm... Selama ini gue sama sekali ngga nyangka kalau lu ini bocah cewek lugu itu,” jelas Oddie sambil masih tetap mengusap air mata Tamara. Di sela-sela menenangkan Tamara, Oddie masih sedikit terkejut dengan metamorfosis habis-habisan yang dialami oleh Tamara.

“Satu hal yang perlu lu inget Tam, hati lu itu putiiiiihhh banget. Pakai bayclin ya Tam?” gurau Oddie. Tak tahan mendengar celetukan konyol Oddie, Tamara tertawa kecil  dengan iringan isakannya.

“Banyak cowok yang antri untuk bisa jadi pendamping lu kelak. Lu berhak banget dapet yang terbaik,” tutur Oddie.

“Apa sekarang ada seseorang di hati lu Od? Mungkin cewek yang foto bareng lu di ruang tamu itu?” tanya Tamara dengan nada yang lembut dan penuh kepasrahan.

“Setiap orang punya posisi masing-masing di hati gue. Bokir, Septian, Gori, Luna, Ruben, termasuk lu, lu adalah orang yang ngertiin gue. Sejak lu ngerawat gue waktu sakit, gue yakin lu adalah sahabat baru gue, buktinya gue langsung sembuh. Jadi jangan tinggalin gue ya Tam, meskipun kelak kita ga bersatu atas nama cinta,” tutur Oddie yang belakangan sering baca karya Khalil Gibran, lumayan, akhirnya bisa menambah pesona Oddie dan membuat tangis Tamara makin menderu.

Heningnya malam hanya dipecah oleh suara jangkrik dan isakan tangis Tamara. Perasaaan Tamara begitu bercampur aduk, ingin rasanya ia dipatok ular sekali lagi agar bisa kembali memeluk Oddie.

“Maafin gue ya Tam. Gue ga bermaksud ngecewain lu. Kita masih tetep sahabatan kan?” tanya Oddie dengan nada yang lembut bak anggota MLM. Layaknya seseorang yang berhasil diprospek, Tamara melemparkan senyum termanisnya, berharap bisa menggugah hati Oddie untuk meralat kembali keputusannya.

Namun, cinta Oddie memang belum berlabuh di hati Tamara. Tamara harus menunggu kapal-kapal cinta lain yang bernaung di hatinya. Luka ular tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luka hati yang dialaminya saat ini.

“Hebat ya lu Od, bener-bener bukan orang yang ngelihat fisik. Gue mesti kasih selamet buat cewek lu kelak.  Yaahhh....Setidaknya apa yang ingin gue katakan waktu SD dulu bisa gue katakan langsung ke lu, yang bener-bener tuluuuss dari hati gue” tutur Tamara yang kemudian diikuti ekspresi senyum kelegaan.

Dari kejauhan, kedua tenda yang berdiri di hutan itu seolah-olah memiliki aura yang berbeda. Ada canda di tenda Luna cs dan ada cinta di tenda Oddie cs. Ribuan kunang-kunang menaungi kedua tenda itu dengan sinarnya yang indah.

bersambung...

Sabtu, 17 September 2011

Satu Yang Tak Bisa Lepas (Chapter 6)

pic. by : Johansen Halim
Rutinitas sebagai siswa SMA Pahlawan Bangsa kembali dijalani Oddie Laksmono. Iklim kelas XII IPS 1 juga menjadi lebih sejuk dengan hadirnya Oddie kembali. Bokir, Septian, Ruben dan Gori menjadi lebih bersemangat untuk masuk sekolah. Seperti biasanya ketika mereka pulang sekolah, selalu menyempatkan diri beberapa jam untuk duduk bersama di tepi lapangan basket.

“Sob, Tamara kok tiba-tiba besukin gue kemarin?” tanya Oddie sambil mendribble bola basket di depan sohib-sohibnya.

“Gue juga heran sih, ada angin apa dia besukin lu. Waktu itu sih adegannya sama kayak sekarang gini. Kami pada kumpul, tiba-tiba aja dia dateng nawarin diri buat gabung, apa salahnya juga sih pikir kami,” cerita Gori yang pertama kali mengizinkan Tamara gabungan di kelompok mereka.

“Aneh ga sih menurut kalian?” heran Oddie yang kemudian diikuti suasana hening sejenak. Tapi, dasar memang geng ceria yang selalu positive thinking, mereka tidak ambil pusing dengan keheranan Oddie. Mereka akhirnya mengalihkan topik mengenai acara Camp Persahabatan kelas XII SMA Pahlawan Bangsa. Camping itu hanya diikuti oleh beberapa anak kelas XII yang memang berniat untuk bersenang-senang bersama.

“Udah, daripada ngomongin yang ngga-ngga, kita pikirin aja acara camp kita. Denger-denger pesertanya udah full, itu udah termasuk Luna ngga ya?” khayal Bokir yang masih mengharapkan cinta Luna. Maklum, sejak kejadian Status di Facebook Luna itu, Bokir malunya bukan kepalang. Sampai sekarang saat Luna atau bahkan Geng Cuwit-Cuwit lewat di depan Bokir, mereka selalu tertawa geli.

“Kemarin gue sempet lihat geng Cuwit-Cuwit barengan kumpulin formulir pendaftaran di depan ruang OSIS. Pastinya mereka bakal ikutan,” yakin Septian yang juga diamini oleh Ruben dan Gori.

Setiap kegiatan sosial maupun keakraban yang diadakan oleh SMA Pahlawan Bangsa, Oddie dan sohibnya hampir tidak pernah absen.  Termasuk acara Camp Persahabatan ini, karena tanpa kehadiran mereka camp tersebut diyakini tidak akan jadi camp yang berkesan. Sembari sohibnya lagi ribut membayangkan satu bus dan satu tenda dengan Geng Cuwit-Cuwit, bola mata Oddie mulai berjalan ke kanan ke kiri. Ujung lidahnya bertemu dengan bibir atasnya yang tipis. Senyuman kecil tersungging manis di wajah Oddie.

“Gue ada ide untuk camp kali ini,” ujar Oddie sambil diikuti dengan nada misterius.
Keempat sohib Oddie tiba-tiba hening, cuma bisa melongo dan perlahan mendekat ke Oddie. Ide-ide brilian yang kadang berakhir kacau selalu dinanti oleh sohibnya. Di luar dugaan sohibnya, Oddie langsung berlari ke tengah lapangan basket dan melakukan lay up di ring basket.

“Tunggu aja tanggal mainnya,” teriak Oddie dari jauh yang kemudian diikuti sorakan Bokir, Septian, Ruben, dan Gori.

***

H-1 Camp Persahabatan
(Kamar Oddie)

“........jaket, selimut, minyak angin, biskuit, pisau, oke FIX!” seru Oddie sembari menutup ranselnya yang akan dibawa besok. Belum 10 detik Oddie beranjak dari tempatnya, tiba-tiba teriakan Mimi memecah ruang tamu. Suaranya yang digadang-gadang mirip Mariah Carey itu berkumandang dengan kencangnya hingga titian 6 oktaf F#m.

“Kak Oddieee, telepooonnnnn....!!” teriak Mimi dengan gaya penyanyi sereosa khas Italia. Teriakan Mimi benar-benar jauh dari kata merdu, itu yang membuat Oddie langsung menyambar telepon tersebut dari tangan Mimi.

“Thank u cantik,” ujar Oddie tersenyum dan mengusir Mimi dari tempatnya. Mendapat pujian singkat itu, Mimi berjalan dengan langkah tegap dan penuh percaya diri bak Miss Angola.

PERCAKAPAN DI TELEPON
“Gimana Gor, ada?” tanya Oddie dengan penuh semangat.

“Ada sih, kebetulan banget kagak dipakai. Emang buat apaan Od pake itu? Masa mereka masih kurang sampe gue mesti bawa yang beginian???” tanya Gori dengan nada yang tinggi karena terlalu penasaran dengan tingkah pola Oddie.

“Udah, nurut aja lu. Pokoknya lakuin permintaan gue yang kayak gue bilang di taman belakang sekolah tadi, ya ya ya? Iya dong pastinya, hehehe...” rayu Oddie yang mulai meneteskas air liurnya di lantai.

“Iya iya, gue juga udah terlanjur nyiapin, mau batal juga ga mungkin. Oke dah, sampai ketemu jam 07.00 besok ya? Bye soobb..” ujar Gori menutup percakapan mereka melalui telepon.

“Daaa Gor, ai lap yu pul,” ujar Oddie yang diikuti dengan bibir monyong ala Bokir.

Tut tut tut tut tut tut........

Setelah menutup teleponnya, Oddie nyengar-nyengir kayak kebo di sawah. Oddie berjalan melenggang layaknya milyuner yang berubah status menjadi trilyuner.

***

Pukul 08.00 WIB, SMA Pahlawan Bangsa begitu sepi. Hening, hanya sinar mentari dan angin semilir yang memenuhi area sekolah. Tetapi, tampak dari kejauhan, seorang pria berpakaian necis, seperangkat aksesoris ternama melekat di tubuhnya. Berdiri seorang pria (lumayan) tampan di samping bus mini bermuatan 15 orang.

“Apa gue yang kepagian, ato gue yang salah info? Kagak mungkin. Hmmm.... Eh, tuh kan, itu Luna, dia aja baru dateng,” gumam Gori yang diikuti oleh rasa lega karena melihat dari jauh Luna membawa ransel dan seperangkat alat camp.

“Hai Lun, mana para sohib lu?” tanya Gori ketika sudah bertatap muka dengan Luna.

“Ngomongnya sih udah di jalan. Mereka pada barengan kok, satu mobil ama Mathilda, dianterin ama sopirnya,” ujar Luna menerangkan kronologi keberangkatan Geng Cuwit-Cuwit.

“Aneh juga sih tapi. Masa ga ada anak lain yang tau kalau jam segini kumpulnya?” ujar Gori dengan penuh rasa heran. Luna juga senada dengan apa yang dirasakan oleh Gori. Sampai pada akhirnya Geng Cuwit-Cuwit datang, kemudian diikuti oleh kehadiran Septian, Ruben, dan Bokir. Mereka semua bertumpah-ruah bersama perlengkapan campnya di lapangan parkir SMA Pahlawan Bangsa.

“Lho, kok cuma kalian berdua, yang lain pada ke mana? Oddie juga belum dateng, aneh bener, jelas-jelas dia yang kabarin kalau jadwal kumpulnya dirubah kan?” tanya Septian kepada Gori dan Luna.

“Iya, aku juga dikabarin jam 08.00 tepat kumpul,” tutur Melani, salah satu anggota Geng Cuwit-Cuwit. Luna CS dan sohib-sohib Oddie mulai meraung-raung dengan keganjilan tersebut karena hanya mereka bersembilan yang berkumpul untuk berangkat camp. Tiba-tiba dari arah utara, tepatnya di gerbang pintu sekolah, muncullah seorang pria yang berjalan dengan langkah pasti. Semakin dekat, dekat, dan dekat. Di anatara keriuhan sembilan orang tersebut, Bokir yang pertama menyadari kehadiran Oddie langsung menghardik dengan gaya polisi intel.

“Wah, jangan-jangan lu nih yang sebarin perubahan jam kumpulnya, jangan bilang kagak lu?!@#$&” semprot Bokir yang diikuti oleh percikan air liurnya hingga mendarat di wajah Oddie.

“Santai-santai. Itu bus dan sopirnya, Spesial buat kita. Gue juga udah kena marah ama Aldo barusan. Tapi, Aldo udah kasih kesempatan ke kita untuk nyusul. So,selama di perjalanan kita bisa goyang bus itu dengan kegilaan kita,” teriak Oddie menyemangati kawanannya agar tidak kecewa. Meskipun mereka semua sempat kesal karena dikerjain Oddie, tetapi mereka tetap bergembira karena bisa menggila bersama di dalam bus tersebut.

Tidak ada lagi raut kemarahan di antara mereka karena mereka tetap bisa ikut Camp Persahabatan. Mereka semua berbondong-bondong masuk ke dalam mini bus milik Gori. Geng Cuwit-Cuwit sibuk menata barangnya ke dalam bus mini tersebut.

*su...wi... wittt....* siulan Oddie

“Sob, sini bentar,” panggil Oddie kepada Bokir, Septian, Ruben, dan Gori untuk mencegah empat sohibnya masuk ke dalam bus mini.

“Ini kan yang kalian mau? Kurang baik apa gue?? Hehehe...,” kata Oddie dengan nada nakal.

“Hahahahahhahahaha.... Bisa aja lu Oddd...” timpal Bokir sambil menjepit kepala Oddie dengan ketiaknya. Sembari menikmati aroma ketek Bokir, Oddie masih bisa berkutik untuk menyampaikan satu berita menggemparkan lagi.

“Bentar, bentar, bentar, lu pada kudu baca nih SMS, dari Aldo,” tutur Oddie sambil menyodorkan handphonenya ke Ruben, Septian, Bokir, dan Gori.

Od, berhubung kalian datengnya pasti telat, gue kayaknya kesulitan ngatur tendanya. Jadi, yang kloter lu gue jadiin satu area ya. Sorry agak jauhan dari camp pusat, anggap aja itu sanksi buat kalian, sapa suruh juga lu pada kompakan telat. Tapi gimanapun juga, ati-ati ya bro di jalan. Meskipun lu pada telat, kami tetep nunggu kehadiran lu semua. C u. Take Care and God Bless You. Aldo (Ketua Panitia Pelaksana).

Mendadak teriakan berkumandang di seantero lapangan parkir SMA Pahlawan Bangsa. Bokir udah kayak pemain bola yang mencetak 18 gol dalam satu pertandingan. Tidak henti-hentinya Bokir memeluk Oddie. Gori hanya bisa geleng-geleng sembari tersenyum. Ruben dan Septian bersujud di tengah lapangan untuk memanjatkan syukur pada Yang Esa. Geng Cuwit-Cuwit yang melihat tingkah pola mereka dari dalam bus hanya melongo dan keheranan. Tidak paham kalau mereka telah terperangkap dalam jebakan iseng Oddie. Akhirnya mereka berangkat tepat pukul 08.15 WIB. Layaknya anak SD yang sedang tur wisata, mereka menyanyikan lagu ‘Naik Delman.’ Saat bus mini akan keluar dari area sekolah, tiba-tiba sesosok perempuan berlari mendekati bus tersebut.

“Pak, tungguuuuuu......!” teriak perempuan tersebut. Mendengar teriakan tersebut, Oddie terkejut dan meminta pak sopir untuk menghentikan busnya.

“Pak, Pak, stop bentar... Emang Geng Cuwit-Cuwit nambah seorang lagi nih?” gumam Oddie dalam hati. Melihat sosoknya yang semakin mendekat, Oddie sangat tidak asing, karena perempuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah Tamara.

“Tamara? Kok kamu masih di sini? Belum berangkat ama anak-anak tadi?” tanya Oddie keheranan karena merasa tidak melibatkan Tamara dalam jebakan iseng berhadiah tersebut.

“Gue..hosh hosh...gue kesiangan...hosh hosh...masih boleh ikutan kan?” jawab Tamara dengan nafas yang tersengal.

“Oooo... Ya udah gabung aja di sini,” ajak Oddie dengan tersenyum manis sambil menarik tangan Tamara untuk membantunya naik ke bus mini tersebut. Melihat adegan Telenovela antara Rosalinda dan Fernando Jose tersebut, seluruh isi bus dari menyanyikan lagu ‘Naik Delman’ berganti menjadi ‘My Heart Will Go On.’ Suasana bus makin riuh dan seru.

bersambung...

Kamis, 15 September 2011

Habis Gelap Terbitlah Terang (Chapter 5)

pic. by : Johansen Halim
Sampai detik ini, Oddie sama sekali tidak ingin bertemu Bokir. Rasa trauma masih menggelayuti pikiran Oddie. Setelah insiden “Bokir KW 1” muncul di depan Oddie ketika siaran ‘Are You Lonely?’ di Soul FM, Oddie tidak masuk sekolah untuk sementara karena mengalami demam.

Memang sialnya Bokir, jika dilihat lagi permasalahannya tidak seharusnya Bokir dipersalahkan lantaran raganya diduplikat oleh makhluk halus. But, life must go on. Tidak ada Oddie, proses belajar mengajar SMA Pahlawan Bangsa harus tetap dijalankan. Meskipun di sekolah tanpa kehadiran Oddie, siang itu empat sohibnya masih nongkrong di tepi lapangan basket.

“Lu kudu tanggung jawab Kir, kasihan kan Oddie paranoid  sampai demam begitu. Kalau muka lu ga kayak begini setan kan juga males minjem raga lu” ledek Ruben yang diikuti gelak tawa Septian dan Gori.

“Weee, resek banget sih lu ben. Benernya ini semua ga akan terjadi juga sih kalau gue maksain dateng ke Soul FM.  Biar tuh setan ga gangguin dia. Toh, gue juga masih bisa jalan, Oddie...Oddie...” sesal Bokir sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sembari Bokir menyesali perbuatannya, tidak henti-hentinya jemari lentik Bokir memungut kacang bawang yang dibawakan oleh Emaknya.

Bercengkerama tanpa  Oddie memang terasa hampa. Tidak ada sosok yang bisa menjadi pemicu sebuah topik karena Oddie memang sang pencetus topik-topik seru. Namun, di kala empat sahabat tersebut masih membicarakan insiden Oddie VS “Bokir KW 1,” tiba-tiba seberkas cahaya muncul di belakang Bokir. Seorang wanita bertubuh tinggi, langsing, berambut kecoklatan yang terurai di atas bahunya, berkulit putih, dan berparas menawan menghampiri mereka. Matanya yang kecil mampu menyilaukan tiga pasang mata yang memandangnya. Belum lagi paras wanita tersebut jelas menunjukkan kalau dia bukan sepenuhnya berdarah Indonesia.

“Permisi, boleh gabungan ngga?” tanya wanita berbibir tipis tersebut.

“Ooo...Boleh-boleh... Boleh banget!!” seru Septian dan Gori. Bokir yang membelakangi wanita tersebut dan ingin tahu siapa suara nan lembut itu tidak diperbolehkan menoleh.

“Kir, lu ga mau ada korban yang pingsan lagi kan? Kasian kalo siang-siang wanita secantik itu udah liat makhluk halus” cegah Septian sambil memegang pundak Bokir agar tidak memutar arah. Seperti biasa, Bokir hanya bisa sewot meladeni kelakuan iseng sohibnya. Tampaknya keisengan Septian mampu menghangatkan suasana di siang yang mendung itu.

***

“Oooo, ceritanya begitu. Nyeremin banget ah...” tukas Tamara saat mendengarkan detail cerita pengalaman Oddie  dari Ruben. Tamara adalah siswi kelas XII SMA Pahlawan Bangsa penjurusan Ilmu Alam. Berbeda dengan Oddie dan kawan-kawan yang duduk di kelas XII penjurusan Ilmu Sosial. Sembari Tamara mendengarkan Ruben bercerita,  Bokir sedikit tertunduk lesu karena sesekali Tamara menatap Bokir untuk memvisualisasikan bentuk setan yang ditemui Oddie.

“Ooo.. nyeremin banget ya pasti, pantes sampai Oddie demam. Kalian sampai sekarang masih belum besuk Oddie?” tanya Tamara.

“Kalau gue, Septian, dan Gori sih udah nemenin seharian kemarin. Nah, si Oddie masih belum mau ketemu Bokir. Kami sih berencana ngebuatin password di antara mereka, biar bisa bedain Bokir asli dan palsu,” jelas Ruben diikuti senyuman kepada Tamara.

“Hahaha.. Ada-ada aja ide kalian. Pertemanan kalian seru banget ya. Aku jadi pengen terus bareng kalian biar bisa ketawa-ketawa gini,” ucap Tamara. Mendengar harapan Tamara, empat sohib Oddie jadi ingin segera mewujudkan harapan tersebut. Mereka dengan senang hati mengizinkan Tamara untuk sering-sering nongkrong bareng mereka.

“Wow, silakan banget!! Kebetulan kami mau bentuk Black Eyed Peas Gadungan. Will.I.Am udah ada, tinggal Fergie-nya aja,” ujar Septian sambil melirik Bokir yang dimaksudkan sebagai Will.I.Am.  Bokir cuma bisa melotot dan mengancam akan menjitak Septian. Gelak tawa mereka menggema di seantero lapangan basket SMA Pahlawan Bangsa.  Di tengah-tengah asyiknya membicarakan Oddie sebagai topik utamanya, Tamara menyela dan mengutarakan sesuatu kepada emat sohib Oddie itu.

“Gimana kalau nanti kita besuk si Oddie? Sekalian ngeresmiin aku jadi anggota  Black Eyed Peas Gadungan,” sindir Tamara yang masih melanjutkan gurauan Septian.

“Fergie memang brillian. Will.I.Am sampe sekarang ga pinter-pinter. Kalau gitu sampai ketemu nanti ya. Jam tujuh malem kita langsung ketemuan di rumah Oddie,” ujar Gori merangkum hasil kesepakatan mereka sembari dijitak Bokir yang tak sanggup menerima hinaan sohib-sohibnya.

***

Tepat pk 18.50 WIB, Tamara sudah berada di depan pintu rumah Oddie, tetapi tidak punya keberanian untuk langsung masuk. Dia datang dengan membawa makanan kesukaan Oddie, Ikan Gurami Goreng Asam Manis. Info makanan favorit Oddie tidak lain dan tidak bukan didapat dari Bokir. Tamara rela memiliki nomor Bokir demi mengetahui berbagai hal tentang Oddie. Kali aja nomor Bokir juga mengandung unsur mistis sehingga bisa dipasang di judi togel.

Sambil menunggu di depan teras rumah Oddie, Tamara duduk di kursi taman Oddie dan bermain-main dengan BlackBerry Onyxnya. Di tengah-tengah asyiknya melihat status BlackBerry Messenger (BBM) teman-temannya, Gori mendadak memberikan pesan melalui BBM:

Gori : PING!!! Sorry Tam, gue PING!!! Biar bisa geterin hati lu, hehehe.. Gini Tam, gue, Septian, Ruben, ama Bokir masih pengen cari buah tangan buat si Oddie. Gue juga kudu jemput mereka bertiga di rumah masing-masing. Jadi kemungkinan besar kami bakal telat banget. Kalau lu udah sampe masuk aja dulu. Kali aja trauma dia bisa hilang begitu lihat cewek secantik lu.

Tamara : Gitu ya. Gue ga enak aja sih, kan gue juga ga terlalu akrab ama Oddienya. Gue nunggu kalian aja deh.

Gori : Yakin nih? Mungkin bakal molor 1 jam lho. Gue saranin mending masuk aja. Oddie mah asik banget. Walaupun dia ga akrab ama lu, dia pasti bisa mencairkan suasana. Bisa-bisa dia malah naksir lu lagi, hahaha. Gue pasti usahain cepet sampai kok. Oke?

Tamara : Hahaha.. Ada-ada aja lu Gor. Oke. C u soon.

Meskipun mendapat dorongan dari Gori, Tamara tidak kuasa untuk masuk ke dalam rumah Oddie. Hatinya berkecamuk menghadapi pilihan antara menunggu atau langsung masuk.

“Kalau langsung masuk, gue bisa ngobrol-ngobrol ama Oddie berdua. Tapi kalau ntar garing, canggung, gawat dong,” gumam Tamara dalam hati. Saat Tamara masih mengalami kegalauan antara masuk dan tidak, Mami Oddie yang baru pulang dari arisan menegurnya dengan antusias.

“Teman Oddie ya? Masuk aja. Oddie lagi di dalam kok. Agak demam sedikit. Ga usah malu-malu,” ajak Mami Oddie sembari menggandeng tangan Tamara masuk ke dalam rumah. Keramahan Mami Oddie membuat Tamara menjadi nyaman untuk bertamu. Bahkan, tanpa perlu waktu lama Tamara bisa mengambil hati Mami Oddie lewat buah tangan yang dibawanya.

“Aduh, ngga usah repot-repot. Terima kasih. Oddie itu ngga sakit, cuma kena penyakit trauma dan malas sekolah, keenakan makanan ini dikasih ke Oddie,” canda Mami Oddie. Tamara hanya bisa tertawa dan melihat sekeliling interior rumah Oddie. Sesekali dia memandangi foto-foto Oddie yang terpajang di dinding dan rak ruang keluarga. Tamara tersenyum kecil ketika melihat pose-pose nakal Oddie dan adiknya, Mimi. Sejenak Tamara terpaku ketika melihat foto Oddie yang sedang berpelukan dengan seorang wanita yang tidak dikenalnya. Dia tidak sadar bahwa sepanjang lamunannya, Mami Oddie masih berbicara dengannya.

“Dek? Kenapa?” tanya Mami Oddie memecah lamunan Tamara di depan foto Oddie dan wanita tersebut.

“Oh iya, maaf tante, maaf. Mendadak ngelamun,” tutur Tamara dengan nada yang tinggi dan penuh sesal.

“Foto itu waktu Oddie ketemu temen lamanya yang datang dari Amerika,” terang Mami Oddie. Mendengar penjelasan Mami Oddie tadi, Tamara seperti kehilangan semangat untuk masuk ke kamar Oddie. Tetapi, kembali Mami Oddie mendorong Tamara untuk menemui Oddie.

“Ini sudah tante sajikan Ikan Gurami Asem Manisnya. Anterin ke kamar Oddie, sekalian ini ama obatnya, suruh dia minum, kali aja kalau sama kamu gampang,” perintah Mami Oddie sambil menyodorkan nampan itu ke Tamara. Meski ragu-ragu akhirnya Tamara berhasil masuk ke dalam kamar Oddie. Dia mendapati Oddie sedang tidur menghadap dinding. Perlahan Tamara mencoba untuk membangunkan Oddie yang dibalut dengan selimut tebalnya.

“Od, bangun bentar dong, makan dulu, diminum obatnya,” panggil Tamara dengan sedikit rasa takut karena tidak ingin mengganggu istirahat Oddie. Perlahan Oddie memutar balik badannya untuk melihat suara siapa gerangan yang membangunkan tidur sang pangeran. Betapa terkejutnya Oddie melihat seorang Tamara di dalam kamarnya.

“Lho, Tamara? Ga salah rumah Tam? Salon masih 300 meter dari sini Tam,” heran Oddie. Belum Tamara menjawab tiba-tiba Oddie berlagak layaknya seorang hamba yang bersyukur pada Tuannya.

“Memang kemarin hamba bersama hantu Bokir, tapi terima kasih atas karuniaMu Tuhan, kini Kau memberikan Malaikat Tamara untuk merawat hamba, di balik kelambu selalu ada hikmah, amiiinn,” ucap Oddie memanjatkan syukur.

Tamara yang melihat kelakuan spontan Oddie hanya bisa tertawa. Sesuai dengan perkataan Gori, Oddie akan sangat mudah mencairkan suasana meskipun Tamara notabene bukan teman dekatnya. Tamara membantu Oddie untuk mengambil makanan dan meminum obatnya. Belum genap satu jam sesuai janji Gori, akhirnya empat sohib Oddie tiba dan langsung menuju ke kamar Oddie. Pemandangan romantis tersebut tidak luput dari pandangan mereka dan aksi ledekan Gori, Septian, Bokir dan Rubenpun terjadi.

“Mantaaaaappp soobb... Ibarat ilmu sastra nih “Habis gelap, terbitlah terang. Habis ketemu setan Bokir, sekarang ketemu malaikat Tamara,” ujar Ruben sambil berlagak menirukan sastrawan Khalil Gibran.
Mereka tertawa bersama, dan Oddie tampaknya sudah bisa menerima kehadiran Bokir. Di tengah-tengah tawa itu, Tamara hanya tersenyum dan menatap Oddie dengan pandangan lembut.

bersambung...

Selasa, 13 September 2011

Are You Lonely? (Chapter 4)

pic. by : Johansen Halim
Di zaman yang serba susah ini, mau beli apa-apa harus pakai uang. Uang didapat jika kita bekerja. Itu sudah kodrat manusia untuk bisa bertahan hidup. Oddie juga manusia yang harus bertahan hidup. Itulah sebabnya seorang Oddie Laksmono, siswa tampan dari SMA Pahlawan Bangsa, harus mencari kerja sambilan.

Siang itu, tepatnya pukul 14.00 seperti biasa Oddie pulang menggunakan motor bututnya. Selama perjalanan tiba-tiba Oddie teringat wejangan sang kakek yang sekarang tinggal di Bogor.

“Kamu itu ganteng Od. Sehat, gagah, tangguh, sama kayak almarhum Bapak kamu. Jadi jangan malu-maluin keluarga kamu ya, terutama Ibu kamu. Buat Ibu kamu bahagia,” ujar kakek di memori Oddie.

Itulah sebabnya tiap pulang sekolah Oddie langsung sibuk dengan profesinya sebagai penyiar radio di Soul FM. Kadang-kadang Bokir, Ruben, Septian dan Gori juga diajak ke Soul FM buat nemenin Oddie siaran.
Kebetulan hari itu Oddie akan siaran malam dan minta ditemani oleh keempat sohibnya.

“Gue ada urusan mendadak Od, tiba-tiba nyokap minta dianterin ke Barcelona,” ujar Gori.

Buset, nganterin nyokap ke Barcelona kayak nganterin nyokap ke Indomaret, kayaknya kalau pakai duit apa-apa jadi deket gitu. Berbeda lagi dengan Septian yang makin laris job bandnya.

“Waduh, sorry Od, ga bisa nemenin lu siaran nih, ntar siapa yang main gitar, masa kudu manggil bang Haji Rhoma Irama buat gantiin gue?” tukas Septian.

Ruben yang biasanya paling bisa kalau disuruh nemenin ke mana Oddie pergi kebetulan sekali harus mengisi pertunjukkan teater di tempat bokapnya kerja, dosen sastra di salah satu Universitas terbaik Indonesia.

“Bokir nih, gue yakin ga ada kerjaannya tuh anak,” gumam Oddie sambil menutup ponselnya yang sudah tidak beredar lagi di pasaran.

***

Pucuk di cinta, ulampun tiba. Bagaikan gayung bersambut. Bagaikan katak dalam tempurung. Ternyata Bokir memang benar-benar masuk ke dalam jutaan orang yang masih belum memiliki pekerjaan.

“Iya iya, tunggu bentar, abis gue kasih makan Eman, langsung gue ke tempat siaran lu,” ujar Bokir mengiyakan.

Eman adalah burung perkutut kesayangan Bokir. Dengan Eman, Bokir mencurahkan semua keluh kesahnya, terutama soal cintanya yang bertepuk sebelah tangan terhadap Luna. Pernah suatu hari Bokir berada pada fase sangat tergila-gila dengan Luna, dia bercakap-cakap dengan si Eman:
Bokir   : “Man, gue tau lu makhluk paling jujur di muka bumi ini dan gue percaya ama lu 100%. Benernya, Luna itu ada rasa ga sih ama gue?”
Eman   : *manggut-manggut makan kroto*
Bokir   : “Ya ya, gue salah tanya, kalau itu sudah pasti. Pertanyaannya gue ganti, kira-kira dia cinta ngga ama gue?”
Eman   : *manggut-manggut minum air*
Bokir   : “Cuma lu yang paling bener dan ngertiin gue man”

Sebagai tanda ucapan terima kasih, Bokir memonyongkan bibirnya di sangkar untuk berusaha mencium Eman. Alhasil, bibir Bokir jontor dipatok Eman. First kisspun telah terjadi.

***

SOUL FM pk 22.00

*backsound thriller*
“Let The Music Heal Your Soul, 104.8 FM. Selamat malam jiwa-jiwa yang gentayangan. Barengan Oddie dari jam 10 sampai 12 malem, Oddie bakal nemenin kalian di acara ‘Are You Lonely?’ Kisah-kisah mengerikan akan Oddie bawakan setelah satu lagu dari Astrid – Ratu Cahaya, OST Tusuk Jelangkung, Check this one out!
(disiarkan dengan nada mencekam)

“Dari dulu gue paling kagak demen suruh siaran yang beginian,” komat-kamit Oddie sambil memandangi komputer yang berisi SMS pendengar dan materi-materi cerita horror.

Oddie terpaksa harus menggantikan Jason yang menjadi penyiar tetap di program ‘Are You Lonely?’ lantaran Jason ada keperluan keluarga yang tidak bisa ditinggal.
Belum lagi, Soul FM di atas pukul sembilan malam hening tak bertuan, hanya ada Pak Kirno dan Ujang yang patroli 24 jam di lantai satu, sedangkan Oddie berada di lantai empat. Suasana semakin mencekam karena semakin banyak cerita-cerita misteri yang seperti mendekati nyata. Oddie cuma bisa minum seteguk setiap ada jeda.

Jam dinding menunjukkan pukul 11.15 malam. Bokir yang janji datang menemani Oddie siaran tidak kunjung datang. “Bokir, Bokir, Bokir, gue udah nyebutin nama lu tiga kali, dateng dong Kir,” rintih Oddie. Memang benar adanya, selain bisa memanggil mas Jelangkung mantera itu juga bisa datengin Bokir.

“Bokiiiiiirrr, akhirnyaaaaa.......!!” teriak Oddie saat menyambut Bokir yang masuk membuka pintu dengan tatapan kosong.

“Lu tau ga Kir, seumur hidup gue ngerasa butuh banget kehadiran lu ya baru kali ini,” ucap Oddie sambil ngelus-ngelus rambut Bokir.

Bokir yang biasanya paling doyan ngebales omongan resek Oddie hari itu hanya diam sejuta bahasa.

“Kir, lu kenapa? Dipatok Eman lagi bibir lu?” ledek Oddie.

Saat mendengar perkataan Oddie, kontan Bokir langsung mengubah ekspresi wajahnya. Matanya menyorot tajam ke arah Oddie. Bibirnya tertutup rapat. Aura yang dibangun begitu dingin dan menusuk hingga terasa ke tulang sum-sum Oddie.

“Iya iya, sorry, bercanda ah! Duduk dulu gih di depan gue. Bentar ya, gue on air dulu. Abis gue kasih 3 lagu, temenin gue ke pantry, gue bikinin lu kopi spesial khas Venezuela, ga pernah kan lu minum yang begituan,” sindir Oddie sambil memakai headphone yang masih tidak mendapat respon positif Bokir.

Merasa ada teman, siaran Oddie makin menjadi-jadi. Oddie jadi berani dan makin membangun suasana siaran menjadi seram. Karena terlalu seramnya, seorang pendengar yang iseng mengirimkan SMS yang berisi:

Salut banget sama Kak Oddie. Berani banget siaran horror sendirian. Pengen nanya nih Kak : Are You Lonely?

Saat membaca SMS tersebut melalui on air, Oddie hanya tersenyum kecil dan membalas pertanyaan pendengar tersebut dengan percaya diri :A black ghost in front of me,” ucap Oddie dengan nada mendesah, dihorror-horrorin. Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Oddie menutupnya dengan lagu Zombie milik The Cranbarries.

***

Tepat pukul 00.00 dini hari, siaranpun akhirnya selesai. Oddie tertawa lepas dan menarik tangan Bokir untuk ke pantry. Sambil berjalan menuju pantry, Oddie merangkul bahu Bokir dan membuatkan Kopi khas Venezuela untuk sohibnya itu.

“Thank you sob. Ngga ada lu, gue ga mungkin berkutik siaran sendirian. Tapi pendengar banyak yang suka nih. Cuma yang terakhir aja tuh, resek banget SMS-nya, hahaha, sorry ya, gue cuman bercanda,” ujar Oddie sambil membuat kopi.

Aneh bin ajaib, Bokir membalasnya hanya dengan senyuman kecil kemudian menenggak Kopi Venezuela tersebut hingga ampasnya dalam satu kali teguk.

“Haus sob? Lu ke sini marathon ato estafet? Persiapan Sea Games lu?” tanya Oddie.

“Iya, biar nambah medali emas buat Indonesia,” jawab Bokir datar dengan tatapan kosong.

“Kayaknya lu lagi ga sehat deh bro. Sorry ya gue ngrepotin lu. Lu bawa motor kan? Apa mau gue tuntun sampe rumah lu? Ntar emak lu sedih kalo lu kenapa-napa,” ucap Oddie sambil megangin kening Bokir.

“Ga usah, gue bisa sendiri kok,” jawab Bokir yang masih diikuti dengan ekspresi dan nada yang sama.

“Udah ah, yuk kita pulang. Lu malah nakut-nakutin gue aja,” ajak Oddie.

Akhirnya mereka berdua saling berpamitan di parkiran motor, dan tidak lupa memberikan ucapan selamat tinggal untuk penjaga tercinta, Pak Kirno dan Ujang. Melihat Oddie dan Bokir berjalan membelakangi mereka, mereka saling bertatapan dan mengernyitkan dahi.

***

Pagi yang cerah di SMA Pahlawan Bangsa.

“Pagiii sooobbbb....!!!” sapa Oddie kepada Septian dan Ruben. Gori? Masih nemenin maminya ke Barcelona.

“Mana nih pahlawan gue, Bokir Sitohang. Tanpa kehadirannya, siaran gue ga bakal semulus itu meennn,” puji Oddie sambil celingak-celinguk nyariin Bokir.

“Terakhir gue SMS dia kayaknya dia sakit,” kata Ruben sambil masih memegang handphonenya.

“Waahh, gue udah feeling kemarin. Ga bisa gue diemin nih, dia udah berjasa banget nemenin gue. Pulang langsung kita besuk dia gimana?” ajak Oddie yang kemudian diikuti oleh anggukan kedua sohibnya tersebut.

Sebungkus pangsit mie ayam Mbok Jijah dan jus melon berada di genggaman Oddie. Setidaknya itu adalah harga yang harus dibayar Oddie karena telah membuat Bokir terkapar demam dan masuk angin. Sesampai di depan pintu kamar Bokir, Oddie mengetuk dan memanggil Bokir dengan nada dramatis bak drama serial Korea.

“Bokir sayaaangg. Kami boleh masuk ya?” teriak Oddie dari luar pintu.

“Masuk aja. Kagak dikunci,” balas Bokir dengan suara parau.

Tanpa basa-basi lagi Bokir menyambut kedatangan mereka denga antusias. Sangat antusias lantaran buah tangan dari kawan-kawannya sesuai dengan selera Bokir. Bokir menikmati makanan tersebut seperti orang yang sudah lama tidak menjumpai makanan. Lahap dan penuh kebuasan. Dalam bayangan Bokir, ketiga sobatnya itu tidak lain bagaikan tiga orang majus yang membawakan persembahan berharga di malam Natal. Di tengah-tengah nikmatnya Bokir menyantap makanannya, dia teringat perihal dirinya yang harus menemani Oddie siaran horror.

“Oh iya, sorry ya Od gue telat ngabarin lu kalo gue kemarin sakit,” ucap Bokir sambil menikmati hidangan tersebut.

“Ga masalah kali. Gue udah ngerasa sejak lu masuk di ruangan siaran, muke lu rada demek, datar banget,” ujar Oddie sambil tertawa.

“Hah? Ruang siaran?” tanya Bokir diikuti dengan kernyitan di dahi dengan mi yang masih menggantung di bibirnya.


FLASH BACK   

Akhirnya mereka berdua saling berpamitan di parkiran motor, dan tidak lupa memberikan ucapan selamat tinggal untuk penjaga tercinta, Pak Kirno dan Ujang. Melihat Oddie dan Bokir berjalan membelakangi mereka, mereka saling bertatapan dan mengernyitkan dahi.
Kemudian Pak Kirno dengan nada heran bertanya ke Ujang:

“Memang tadi ada orang masuk ya jang? Lu liat?” heran Pak Kirno.

“Makanya ntu, kagak ada yang masuk dari tadi,” jawab Ujang sambil berlari kembali ke pos penjagaan.


BACK TO KAMAR BOKIR

“Od, Od, sadar Od, sadar, bangun Od...” teriak Septian, Ruben, dan Bokir bergantian membangunkan Oddie dari pingsannya.